Pejabat asing mah sebenarnya sudah biasa. Khususnya untuk perusahaan milik swasta, atau milik negara yang di dalamnya ada saham milik asing setelah era privatisasi. Tidak ada istimewanya. Sebab, konsekuensi dari penyertaan modal asing, ya struktur share holder (pemilik saham), dan direksi juga harus menjadi representasi dari kepemilikan usaha dimaksud.
Jadi, ini adalah hal yang biasa.
Menjadi tidak biasa, menarik perhatian, jika itu menyangkut jabatan publik (baca: kenegaraan). Misalnya pak camat, pak bupati, walikota, gubernur, dan presiden. Atau juga menteri, direktur jenderal, dan lain sebagainya.
WNA apakah boleh memiliki tanah dan properti di negara kita? Bisa, namun bukan atas nama WNA tersebut, Makanya banyak WNA menikahi laki-laki lokal,atau wanita lokal, untuk berbisnis dengan penguasaan properti diatasnamakan sang suami, atau istri. Ini juga bukan rahasia. Selama semua biaya negara dibayar, pajak-pajak dibayar, risikonya hanya sengketa di mereka sendiri antara suami-istri jika nanti ada masalah gono gini atau apa lah terkait properti.
Jadi, kalau di swasta dan PMA -Penanaman Modal Asing -, ya biasa saja.
Kalau di pemerintahan, itu memang menjadi masalah besar. Sebab pejabat identik dengan "memerintah" bawahan, sehingga kalau pejabatnya adalah orang asing, dan anak buahnya adalah orang dalam negeri, ibarat sebuah "penjajahan" di mana yang "memerintah" adalah orang asing, dan yang "diperintah" adalah orang dalam negeri.
Hubungan industrial di swasta sudah sangat jelas diatur oleh UU Ketenagakerjaan dan konvensi di ILO (International Labour Organization).
Sedangkan dalam konteks pemerintahan, pejabat negara yang WNA, masih belum diatur oleh UU kita. Kesepakatan awam adalah "itu dilarang".
Namun demikian, seorang senior saya berkata, "Regulasi itu bukan kitab suci, kalau kitab suci itu tidak bisa diubah manusia, kalau regulasi bisa diubah. Mengapa tidak?"
Itulah mengapa,pejabat asing menjadi sebuah "kelaziman di masa mendatang", selama regulasi diperbolehkan.