Sekarang mari kita berbincang mengenai fenomena masyarakat kita yang sangat gemar ke Yogyakarta. Selain Kraton, Pantai Parangtritis di Bantul, Pantai Krakal Sundak Kukup Baron Drini di Wonosari Gunungkidul, Merapi dan Kaliurang di Sleman, Pantai Glagah dan Bandara baru di Kulonprogo, kota kecil provinsi mini hanya dengan 4 kabupaten dan 1 kota, mengandalkan wisata jalanan yakni Malioboro.
Orang bisa jalan kaki, dari titik nol di depan Kantor Pos Yogyakarta, utaranya alun-alun utara, hinga ke titik Tugu yang saat ini tampak instragammable bagi yang suka.
Bagi yang gak suka, ya biasa saja hawong setiap hari lewat ndik situ....Hehe..
Saya selalu saja heran, apakah faktor historis sebagai pendukung utama Malioboro?
Ya, bisa jadi. Stasiun Tugu yang hanya saplinthengan, saududan, deket banget gitoo..., adalah menarik bagi wisatawan nusantara alais wisnu, untuk sekedar jalan-jalan kaki di sekitar Malioboro. Lantas, bisa balik langsung jika ingin lewat stasiun yang sama.
Trotoar yang semakin rapi, notabene sejatinya, hanya melanjutkan konstruksi warisan Walondo alias Belanda, alias desain kota jalan dan saluran air drainase warisan Kolonial. Wah... dalam hal ini.. kolonial kita gak bodo-bodo amat, bisa mewariskan gedung dan kota yang tertata rapi.
Soalnya ada yang menuduh, jajahan Belanda biasanya bodoh-bodoh, pada gak bisa bahasa Inggris, apalagi Belanda. Hehehe.. benar juga ya.. kalau jajahan Enggresh, pinter banget bahasa Inggrisnya misal India, Malaysia, Brunei, dan negara-negara persemakmuran England.
Kalau jajahan Belanda, pad agak bisa bahasa Belanda. Nyang bodoh bisa penjajahnya, atau rakyatnya yaa...Embuh lah... nyang venting sekarang dah maju semua pinter-pinter ...
Hawong saya saja sekarang sering terkoneksi dengan piyayi Walondo, dan saling sinergi membangun SDM maritim melalui skema triple helix dan bukti nyata ternyata modernisasi bisa saling peduli berbagi ilmu dan edukasi. Meskipun sejarah lama sangat heroik dan hiruk pikuk..
***