Sejarah milik para penguasa. Itu salah satu adagium yang berkembang pada suatu ketika, suatu kelompok. Bisa saja demikian. Namun bagi kaum literasi, sejarah adalah milik para penulisnya. Bagaimana jika sejarah berdarah, ditulis dengan salah? Atau, sebenarnya perlu direvisi atau dikoreksi duduk perkaranya?
(1) Kisah Haryo Penangsang
Adipati Jipang Panolang. Berpegang teguh pada prinsip. Tegas dan cenderung berangasan. Sebentar, tegas masih relatif netral. Berangasan, adalah nomenklatur atau istilah yang cenderung negatif, agresif, destruktif.
Namun, demikian orang mengenal sejarahnya. Bertempur dengan Danang Sutowijoyo, di tepian Sungai Bengawan Solo. Gagah perkasa, naik kuda Gagak Rimang, hitam besar tinggi kaki kukuh menapak bumi. Derap langkah menghentak, ringkik kuda terdengar memekik.
Namun takdir berkata lain. Perut robek ditusuk tombak Kyai Pleret, oleh seorang anak muda yang masih ingusan, Danang Sutowijoyo. Haryo Penangsang yang sakti mandraguna, mengalungkan usus ke pinggang, berbalutan dengan keris yang disandangnya, Keris Setan Kober.
Danang Sutowijoyo dipithing, diruket, disikep, dicekik dengan penuh kekuatan. Merintih Danang minta dilepaskan. Haryo tidak sabar, segera menghubus KerisSetan Kober.
Lupa bahwa usus yang tertombak Kyai Pleret, masih terbalut di seputar pinggang dan kerisnya. Terburai usus, terkena kerisnya sendiri, Gugurlah Haryo Penangsang di tepi Bengawan Solo. Langit kelap-kelap, guntur menyambar. Telah gugur seorang Ksatria Jipang, ahli waris utama Kerajaan Pajang.
Di seberang Kali Bengawan Solo. Pasukan Ki Ageng Pemanahan, ayah Danang Sutowijoyo, bersorak suka cita atas gugurnya Haryo Penangsang. Telah tewas pemberontak kerajaan Pajang, yakni Haryo Penangsang.
Siapa sejatinya Haryo Penangsang?
Apakah ia seorang pemberontak, ataukah seorang kesatria yang membela kebenaran dan hak yang memang harus diperjuangkan? Ini perlu penjelasan panjang lebar, dengan bukti pendukung, dan literatur yang ada. Namun, jika kita melakukan wawancara bagi warga Jipang dan Panolang yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Blora, maka opini rakyat Mataram Jogja Solo dengan rakyat Jipang Panolang Blora, bisa beda. Tantangan bagi pengejar objektivitas sejarah.
.... bersambung (21.10.2020)
(2) Ki Ageng Mangir Wonoboyo
Siapakah Ki Ageng Mangir Wonoboyo? Seorang pimpinan tanah perdikan Mangiran, sebuah wilayah Mataram otonom di kawasan timur Sungai Kali Progo, subur makmur membentang di barat selatan wilayah yang saat ini masuk kabupaten Bantul Yogyakarta. Tegas, berwibawa. Adil dan melindungi rakyatnya. Tombak Baruklinting, adalah senjata andalan beliau ketika bepergian, atau menghadapi lawan. Raja Mataram ketika itu, Panembahan Senopati Hing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah Hingkang Jumeneng Hing Tanah Jowo, yang tidak lain adalah Danang Sutowijoyo yang telah mapan dewasa sebagai penguasa kerajaan. Gusar gulana, karena Ki Ageng Mangir Wonoboyo, tidak selalu bersedia untuk tunduk patuh pada Mataram. Senopati sebagai penguasa mutlak Mataram, mencari strategi. Bagaimana menundukkan Ki Ageng Mangir yang memilii pagar betis para rakyat yang mencintai Mangiran?
Maka, anak perempuan Senopati, Nimas Ayu Pembayun, dikirim ke area Mangiran, menyamar sebagai ledek atau penari tayub. Masuk wilayah Mangiran, Ki Ageng terkena panah asmara, jatuh cinta ke Pembayun. Pembayun menerima cinta, dengan syarat Ki Ageng mau menghadap calon mertua, yang tidak lain adalah Panembahan Senopati.
Singkat cerita, Mangir menjadi menantu. Pembayun jadi istri Mangir. Hingga hari H pisowanan agung, dilaksanakan. Sebagai menantu, Ki Ageng Mangir harus tunduh manembah hormat sujud ke Panembahan Senopati. Terjadilah kejadian itu ..........
Pada saat Mangir sujud, dibenturkanlah kepala Mangir ke watu gilang, batu hitam vulkanik keras di bawah kaki Senopati. Setengah hati Senopati menerima menantu Mangir, sehingga wajah musuh yang tampak ketika terjadi pisowanan. Guntur menyambar.... langit gelap gulita... petir sahut menyahut mengiringi gugurnya Mangir di kaki Senopati.
Apakah kisah itu benar ? Bagaimana yang sejatinya terjadi? Ada yang berkisah, sebenarnya kepala Mangir tidak dibenturkan ke watu gilang, namun diiinjak langsung oleh kaki Senopati sehingga tewas. Wallahu' alam.
Namun, cobalah anda ziarah makam raja Mataram di Kotagede Yogyakarta. Dalam cungkup makam dengan lantai marmer, terdapat kuburan Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang terbelah. Sebagian di dalam cungkup, atau rumah makam. Sebagian ada di luar cungkup, sehingga batu nisan kepala dan kaki terbagi dua. Konon ini simbol penerimaan setengah hati Senopati; Mangir adalah menantu maka kepala dikubur di dalam cungkup, namun ia juga musuh sehingga dikubur di luar cungkup. Anda harus datang langsung untuk melihat di sana. Saya sudah melihat. Namun memang terlarang untuk difoto.
...... kisah sejarah berdarah darah. Apakah itu objektif seperti demikian, kita bisa disclaimer. Tidak tahu secara pasti. Hanya versi ini versi itu. Revisi akan mampu dilakukan oleh ahlinya. .... (bersambung. 22.10.2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H