(Cuplikan berita Jurnal Hayati)
Ekosistem memberikan jasa-jasa bagi manusia, antara lain dalam bentuk udara untuk bernafas, air bersih, dan berbagai jenis makanan. Sayangnya, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, 60% jasa ekosistem rusak akibat konversi lahan untuk produksi makanan, bahan bakar, dan serat. Manusia secara berlebihan mengeksploitasi ekosistem. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk menjaga ekosistem adalah pendekatan pasar, dimana jasa ekosistem diberi label harga dan tersedia untuk dijual atau dibeli. Baru-baru ini tujuh pakar ilmu lingkungan di Amerika Serikat bergabung untuk menganalisa pendekatan pasar itu. “Hal-hal terindah dalam hidup ini tersedia gratis, termasuk alam. Tapi bila jasa-jasa alam tidak diberi harga, kita tidak dapat memelihara lingkungan sebagaimana diperlukan demi menjaga ketersediaan jasa-jasa penting ini,” kata Stephen Polasky, profesor di University of Minnesota (UMN) dan peneliti di Institute on the Environment (IonE), dalam suatu rilis pers. Masalahnya, jasa ekosistem adalah barang publik. Regulasi untuk jasa ekosistem terkadang di luar kendali pemerintah, dan sains di bidang jasa ekosistem masih belum memadai. Tidak ada skema pembayaran yang sekaligus cocok untuk semua kasus di lapangan. Bahkan skema pembayaran yang salah bisa lebih buruk daripada tanpa pembayaran sama sekali, seperti pengalaman selama empat dekade dalam hal subsidi pertanian. Subsidi memicu pemakaian pupuk dan pestisida secara berlebihan sehingga menjiptakan banyak zona mati di lautan. Dalam suatu zona mati perairan, kehidupan hewan dan tumbuhan telah hilang akibat habisnya oksigen.
- - - - -
Opini saya yang awam, jasa-jasa ekosistem (ecosytem service) mutlak harus diberi harga. Jasa ekosistem harus masuk pasar, tapi kita harus hati-hati supaya jasa ekosistem tidak jadi monopoli pemodal besar.
Harga ekosistem dihitung baik dari nilai riil maupun nilai estetis atau etis yang diberikan terhadap ekosistem. Nah, pemerintah kita selayaknya mulai serius memikirkan mekanisme pasar dan valuasi terhadap ekosistem kita. Dan jangan hanya konteks kredit karbon yang bisa dibeli negara lain.
Agak ironis kalau dipikir-pikir. Indonesia menunggu dibayar negara lain untuk menjaga alamnya sendiri. Yang logis itu, kita mulai dari diri sendiri dulu. Kita jaga alam kita, baru kemudian tawaran akan berdatangan buat membeli kredit karbon. Kalau inisiatifnya dari luar, kita kayak ga tau diri dan maruk.
Saya mau kutip celetukan di Twitter beberapa waktu lalu, dari seorang aktivis lingkungan di negara tetangga:
"At Carbon Forum Asia yesterday, an Indonesian asked me how much Singaporeans would pay for haze-less air, saying we should pay Indonesia."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H