M. Husen (28) telah membunuh dan memutilasi bosnya karena alasan etika yang buruk.
Husen (pelaku), mengaku tidak merasa menyesal membunuh dan memutilasi bosnya. Apa yang dilakukan Husen tersebut disinyalir oleh perbuatan bosnya yang sering marah-marah dan main tangan. Husen merasa apa yang dilakukan bosnya itu mengancam dirinya dan satu-satunya cara untuk melampiaskan amarahnya hanya dengan membunuhnya dengan kejam, bukan melapor, bukan keluar dari pekerjaan, dan bukan meminta perlindungan.
Bos Husen yang merupakan juragan galon isi ulang tersebut kerap memukuli Husen karena kesalahan-kesalahan kecil yang ia buat. Sebagai pekerja, Husen juga merasa jengkel dengan kebiasaan itu dan memendam rasa benci teramat sangat dalam. Husen melakukan pembunuhan pada pukul 20.00 malam dengan memukul sebanyak dua kali di bagian kepala, lalu dilanjutkan lagi di waktu lain sekitar pukul 04.00 pagi hari untuk memutilasi. Pelaku juga mengambil uang sejumlah 7 juta rupiah milik bosnya dan dipergunakan untuk bersenang-senang.
Berkaca dari kejadian ini, pertama yang bisa kita petik adalah jangan merasa lebih hebat dari orang lain sehingga kita dapat melakukan apapun semena-mena. Tiap manusia dari tempat terkotor pun sama-sama mempunyai hati. Jangan sampai perbuatan kita malah menjadi senjata makan tuan, ingat teman-teman semua, musuh paling berbahaya adalah musuh dalam selimut. Musuh yang berada di dekat kita dengan bebasnya, tentunya kita tidak menyangka berbagai macam kejahatan bisa terjadi.
Kedua, jika kita melihat bagaimana alur pembunuhan tersebut, pelaku terlihat jelas kurang berpendidikan. Jika Anda melihat video pers dan wawancara yang dilakukan oleh teman-teman media. Pelaku menjawab semua pertanyaan dengan polosnya dan tanpa pikir panjang, belum lagi dari caranya melancarkan kejahatannya, ia bahkan sempat pergi minum di angkringan sesaat setelah memukul bosnya hingga sekarat, lalu kembali lagi keesokan harinya untuk meneruskan aksinya tersebut, memutilasi. Alhasil, walau dirinya berhasil menutupi jasad korban dengan mengecor bagian tubuhnya, tetap saja polisi bahkan warga yang awam dapat menemukan lokasi asal jasad tersebut ditimbun.
Jika dilihat dari kaca mata pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan di suatu masyarakat dapat berpengaruh pada rendahnya pula pemikiran yang logis. Semua yang dilakukan hanya sebatas keinginan, nafsu, dan emosi. Bagi mereka penyelesaian masalah hanya bisa menggunakan kata "dilenyapkan" seperti halnya hukum rimba.
Siapa yang salah dalam kejadian ini? Apakah pihak pelaku atau malah pihak korban? Bagi saya ini bukan salah siapa-siapa, karena kedua belah pihak melakukan kesalahan. Ini adalah sebuah peristiwa yang jika dianalisis banyak sekali faktornya mulai dari faktor internal seperti dendam dan perlakuan kasar, hingga ke faktor eksternal yang mana semua timbul dari kurangnya pendidikan, dari sisi bos yang tidak mempunyai etika yang baik dalam memperlakukan sesama manusia, juga dari sisi pelaku yang dengan mudahnya memakai cara "melenyapkan" untuk melampiaskan rasa bencinya.
Dipikir-pikir, banyak cara untuk melakukan protes, namun yang terjadi adalah yang terburuk. Jika sudah begini, tidak ada yang bisa disesali, semua telah terjadi dan bisa saja terjadi lagi dan lagi. Apa yang bisa kita lakukan adalah pencegahan, jika semua senang dan ada keadilan, tentunya adapun perselisihan dapat diselesaikan dengan bijak dan tanpa adu tangan.
Mari kita jaga bersama masyarakat kita dengan edukasi yang baik dan etika yang baik pula. Hal mendasar seperti ini masih bisa terasa dampaknya nanti jika sudah tiba waktunya.
-Nugroho Anggara