Mahasiswa mungkin hanya nama, mungkin saja simbol makna. Itulah yang menjadi problema. Julukan sangat berhubungan dengan sikap dan niat. Jika ada pelajar di universitas yang masih bermalas-malasan apakah mereka tetap dipanggil mahasiswa?
Bicara tentang mahasiswa, secara etimologi disebut “maha” artinya tingkat lanjut, dan “siswa” artinya murid. Jika kita menggabungkannya akan bermakna “siswa tingkat lanjut” (bukan siswa usia lanjut ya.) Jika seperti itu, seharusnya semua siswa ada “di tingkat lanjut” atau “siswa tingkat lanjut”.
Kalau Anda pernah mempunyai kenalan ketika masih mahasiswa yang tidak seperti namanya, boleh jadi dia cuma punya namanya, tidak isinya. Saya melihat masih banyak mahasiswa yang bahkan tidak berniat untuk belajar, tidak berpikir sendiri, hanya lontang-lantung di sekitar tempat belajar mencari angin segar. Lantas, dari mana datangnya siswa-siswa seperti ini? Apakah mereka adalah siswa yang memutuskan pensiun? (memang ada?) atau siswa yang sangat beruntung? Ah, tidak-tidak. Itu hanya perasaan saya saja. Marilah berpikir positif.
Dilihat darimana pun mahasiswa bukanlah siswa lagi, mereka benar-benar mempunyai pilihan karena mereka sudah cukup dewasa untuk memilih pilihan hidupnya sendiri. Paksaan pihak orang tua juga bukan tidak mungkin, hingga masa kini pun orang tua yang memaksa anaknya dalam berkarir juga masih banyak, walau tidak sebanyak dulu. Saya yakin pemaksaan terhadap anak seperti itu rata-rata dilakukan oleh orang tua yang sudah cukup fasih dalam trend parenting, namun masih saja melakukannya.
Para siswa yang menyandang nama “mahasiswa” ini saya rasa memerlukan bantuan, bagaimana tidak, mereka harus belajar sesuatu yang mungkin tidak mereka sukai, atau, mereka berada di tempat itu secara cuma-cuma. Indonesia adalah negara demokrasi, masyarakatnya akrab satu sama lain saling bertukar ide dan pemikiran, terkadang bertukar keinginan, yang mana diiyakan, demi kucuran uang, yang mana membuat kesusahan.
Bagaimana saya bisa berpikir bahwa mereka bisa menyusahkan?
- Menyergap posisi yang harusnya diisi mahasiswa “asli”.
- Melakukan secara berkala pembulian verbal atau mental.
- Memberikan tugas tambahan bagi para dosen, bersemester-semester belum lulus juga.
- Membagikan godaan di seluruh lini karyawan suatu universitas. Gratifikasi, nepotisme.
Pemerintah bisa saja mulai menyisir masalah-masalah seperti ini dimulai dari instansi-instansi negeri. Memang apa dampaknya bagi pemerintah? Bukannya ini dalam selimut sendiri, bukan selimut negara? Pasti ada, dengan membudayanya sifat “hormat uang”, maka akan muncul sifat ketidakseriusan dalam bekerja dan kemandulan program kerja. Semua akan menjadi tidak efektif.
Budaya seperti ini masih terjadi, menurut Anda apakah ini perlu diusap oleh pemerintah sendiri? Ataukah biarlah ini terjadi? Bagaimana dengan solusi dari gratifikasi, korupsi, dan kolusi?
Bagikan pemikiran teman-teman Kompasianer melalui kolom komentar, saya ingin tahu. Salam perdamaian. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H