Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menilai Kebijakan Utang dalam APBN-P 2015

13 April 2015   07:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 6 (enam) kebijakan utang dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015. Pertama, pengendalian rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto atau PDB). Diharapkan rasio itu terus menurun. Hal ini baik karena akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan program berdikari secara ekonomi dari Presiden Jokowi.

Kedua, pembiayaan defisit APBN akan diutamakan dari utang dalam negeri lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini juga baik karena utang dalam negeri lewat penerbitan surat berharga negara maka bunganya dinikmati oleh penduduk sendiri. Berbeda dengan utang luar negeri yang bunganya dinikmati oleh negara, lembaga, dan masyarakat luar negeri. Keuntungan lain dari utang dalam negeri adalah mengurangi kebutuhan dolar AS karena dibayar dalam rupiah. Sebab kebutuhan dolar AS yang tinggi akan menyebabkan dolar menguat atau rupiah melemah terhadap dolar AS.

Ketiga, utang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kegiatan produktif dengan cara penerbitan surat berharga berbasis proyek. Contoh yang sudah ada selama ini misalnya Obligasi yang diterbitkan Jasa Margaa untuk pembangunan Jalan Tol. Hal ini juga sesuatu yang bagus karena penggunaan utang untuk hal produktif sehingga utang bisa dikembalikan dari hasil proyek yang dibiayai dari utang tersebut.

Keempat, utang luar negeri juga akan dimanfaatkan untuk kegiatan produktif misalnya untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan energi. Hal ini juga kebijakan yang tepat karena utang luar negeri yang tidak digunakan secara produktif akan menciptakan ketergantungan dan kesia-siaan.

Kelima, pemanfaatan pinjaman siaga atau pinjaman darurat jika dibutuhkan. Pinjaman jenis ini memang disediakan khususnya untuk negara-negara sedang berkembang oleh lembaga internasional seperti IMF. Hanya memang biasanya ada syarat tertentu misal jika negara sedang berkembang seperti Indonesia mengalami defisit parah dalam neraca pembayaran internasionalnya.

Keenam,  manajemen utang akan dikelola secara profesional dengan pendekatan Asset Liabilities Manageement atau ALMA. Intinya harus ada keseimbangan antara liablities atau kewajiban yaitu utang dengan kekayaan atau asset. Hal ini sama seperti dalam perusahaan-perusahaan. Ini juga sesuatu yang baik artinya negarapun dapat dipandang sebagai suatu unit ekonomi yang harus dikelola secara hati-hati dan profesional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun