Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komisi Perlindungan Korupsi

9 Juni 2016   21:05 Diperbarui: 9 Juni 2016   21:13 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jagad media Indonesia baru-baru ini digegerkan dengan kasus salah tulis alamat surat dari Kementrian Dalam Negeri ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang ditulis di alamat surat bukannya "Komisi Pemberantasan Korupsi" sebagai kepanjangan dari KPK melainkan Komisi Perlindungan Korupsi. Yang menulis ternyata adalah staf Kemendagri yang lulusan SLTA dan baru bekerja 3 bulan.

Dampak dari salah tulis itu cukup mengagetkan yaitu staf itu dipecat dari pekerjaannya. Di samping itu Kemendagri telah mengirimkan surat permohonan maaf kepada KPK. KPK sendiri, seeperti yang terbaca di berbagai media massa, tak menganggap serius hal itu dan itu cuma salah ketik biasa.

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari peristiwa itu. Pertama, hal tersebut merupakan fenomena yang mengherankan dimana di era informasi dan teknologinya yang sangat maju ada orang yang tidak tahu tentang lembaga sebesar dan setenar KPK. Saya yakin pastilah staf tersebut punya telepon pintar ( smartphone) di mana ia bisa dengan cepat mengakses informasi lewat mesin pencari di internet.  Jika dia ragu-ragu, ia bisa bertanya ke mesin pencari apa singkatan dari KPK. Saya khawatir bahwa masyarakat Indonesia, terutama kaum mudanya, menggunakan telepon pintarnya hanya untuk senang-senang (misal update status, pamer gaya, atau main game). 

Kedua, tingkat pendidikan dari staf tersebut adalah SLTA. Sebenarnya bukanlah tingkat pendidikan yang rendah.  di semua SLTA saat ini juga ada pendidikan anti korupsi sehingga lembaga semacam KPK mestinya juga sudah diperkenalkan. Ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal yang lumayan tinggi tak menjamin seseorang itu peduli terhadap lingkungannya. Mungkin waktu sekolah di SLTA nya dulu, staf itu tak peduli apa yang diajarkan guru-gurunya. Mungkin sistem evaluasi di sekolah sekarang juga terlalu murah sehingga murid yang tak tahu apa-apapun bisa lulus.

Ketiga, soal hukuman pemecatan itu barangkali juga bisa dipersoalkan. Apakah kesalahan ketik itu pantas dihukum berat dengan pemecatan. Memang sempat ada dugaan bahwa salah ketik itu diduga disengaja dan merupakan salah satu bentuk sabotase. Tapi ini kemudian dibantah oleh Mendagri sendiri yang menyatakan bahwa itu hanya tindakan ceroboh salah ketik biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun