Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kelemahan dan Kebijakan Indonesia Menghadapi AFTA 2015

20 Februari 2014   23:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berbagai kawasan perdagangan bebas dunia sekarang ini sedang menjadi trend. Termasuk yang dekat dengan Indonesia adalah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA ini kemudian akan ditingkatkan lagi menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA di tahun 2015 mendatang.

Hanya Sebagai Pasar

Namun tampaknya Indonesia sampai saat ini belum siap menghadapinya. Indonesia sampai saat ini sebatas sebagai pasar bagi produk dari negara-negara ASEAN yang lain. Pertama, karena penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 231,3 juta jiwa merupakan 39% dari total penduduk ASEAN. Kelas menengah Indonesia saat ini juga berjumlah sekitar 100 juta orang. Tentu ini merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara ASEAN lain.

Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang saat ini sebesar 846 miliar dolar AS juga merupakan 40,3% PDB total negara-negara ASEAN. Ini juga merupakan indikasi pasar potensial yang terbesar.

Ketiga, masyarakat kelas menengah dan atas Indonesia sudah terkenal sebagai masyarakat yang konsumtif. Ini terlihat misalnya orang Indonesia rata-rata memiliki lebih dari satu hand phone. Berbeda misalnya dengan masyarakat Jepang yang terkenal dengan sifat hematnya. Indikasi yang jelas dari Indonesia sebagai pasar saja adalah selalu defisitnya neraca perdagangan internasional Indonesia dengan negara-negara ASEAN sejak tahun 2005.

Kelemahan

Kelemahan-kelemahan Indonesia yang belum bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN adalah: Pertama, Indonesia belum mampu atau tidak mau mengolah sumberdaya alam yang dimilikinya. Sekarang ini 40% ekspor Indonesia berupa bahan mentah dari sumberdaya alam seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi. UU baru yang melarang ekspor mineral mentah barangkali merupakan angin segar tetapi harus didukung dengan modal dan teknologi tinggi untuk mengolahnya.

Kedua, SDM Indonesia sampai saat ini juga tergolong masih rendah kualitasnya, terutama ahli-ahli atau sarjana eksakta (teknik) yang masih kurang.

Ketiga, infrastruktur Indonesia yang buruk juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi produksi barang dan jasa sehingga harganya tidak bisa bersaing di pasar ASEAN. Sampai saat ini pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur masih rendah. Total pengeluaran pemerintah dari APBN untuk infrastruktur hanya 2% dari PDB. Smentara Vietnam mengeliarkan belanja infrastruktur 8% dari PDB nya bahkan China sampai mengeluarkan belanja infrastruktur 10% dari PDB nya. Menurut ADB (2011) panjang jalan di Indonesia adalah yang terpendek di ASEAN.

Keempat, di sektor jasa Indonesia sangat ketinggalan. Padahal seperti diketahui dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) sudah dibuka liberalisasi untuk profesi Akuntan, dokter, dokter gigi, insinyur, perawat, dan arsitek.

Kelima, sektor pertanian yang merupakan sektor potensial Indonesia ternyata banyak ditinggalkan oleh berbagai kebijakan pemerintah. Padahal negara ASEAN lain juga punya sektor unggulan sektor pertanian dan mereka mengembangkannya dengan sungguh-sungguh. Contohnya adalah Thailand dan Vietnam.

Kebijakan

Atas dasar permasalahan dan kelemahan Indonesia seperti telah ditulis di atas maka dapat diambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut: pertama, Indonesia harus meningkatkan ekspornya dari mayoritas bahan mentah dari sumberdaya alam menjadi barang jadi. Kebijakan melarang ekspor mineral mentah memang sudah baik. Tetapi hal itu harus disertai dengan kebijakan membangun teknologi tinggi serta industri padat modal untuk mengolah mineral tersebut.

Kedua, Perhatian terhadap pengembangan SDM tetap perlu mendapat prioritas. Pengembangan SDM khusus untuk ahli-ahli teknik dan eksakta perlu diprioritaskan.

Ketiga, belanja infrastruktur perlu terus ditingkatkan. Jika pemerintah lewat APBN tidak sanggup maka bisa memanfaatkan kerjasama dengan swasta atau memanfaatkan dana tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Keempat, peningkatan mutu tenaga kerja di sektor jasa-jasa juga perlu mendapat perhatian serius sebab Indonesia kalah jauh dari tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun