Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial

Memahami Pergantian BI7DRR Menjadi BI Rate

1 Maret 2024   00:26 Diperbarui: 1 Maret 2024   00:29 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada hal yang menarik dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) bulan Desember 2023 yang berlangsung tanggal 20 sampai 21 Desember 2023 lalu. Memang hal tersebut sudah lama terjadi dan tak banyak yang tahu tetapi tetap menarik untuk dicermati. Hal menarik tersebut adalah penggantian nama suku bunga kebijakan BI yaitu BI Seven Days Repo Rate (BI7DRR) menjadi BI Rate. Hal tersebut berlaku mulai tanggal 23 Desember 2023.

Sebenarnya penggunaan istilah BI Rate sebagai suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan sudah dilakukan sebelum 19 Desember 2016. Hanya saja substansinya berbeda. BI Rate yang digunakan sebelum 19 Agustus 2016 adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditargetkan oleh BI (yang diintervensi lewat lelang). Hanya saja kemudian terbukti bahwa BI Rate ini tidak efektif sebagai suku bunga kebijakan. Tidak efektif karena respon suku bunga deposito, suku bunga kredit, dan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) trenyata tidak reponsif terhadaap BI Rate. Jika BI Rate diturunkan maka penurunan suku bunga deposito dan kredit tidak sebesar penurunan BI Rate. Hal ini antaraa lain disebabkan BI Rate adalah suku bunga SBI yang ditargetkan oleh BI dimana SBI jatuh temponya adalah 1 tahun. Jangka waktu 1 (satu) tahaun bagi pasar keuangan merupakan jangka waktu yang terlalu lama untuk mengakomodasikan dinamika di pasar keuangan yang pergerakannya sangat dinamis dalam waktu yang singkat (bisa hari, jam, menit, bahkan detik).

Maka mulai 19 Agustus 2016 diganti menjadi BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) yaitu suku bunga surat utang negara yang jatuh temponya 7 hari untuk dijual kembali kepada BI. Waktu jatuh tempo 7 hari lebih sesuai untuk mengakomodasikan dinamika di pasar keuangan. Di samping itu ternyata BI7DRR jauh lebih rendah dari SBI rate yang ada di pasar keuangan sehingga diharapkan suku bunga deposito dan kredit menjadi lebih rendah jika dibandingkan memakai BI rate sebagai acuan.

Komunikasi Sebagai  Salah Satu Alat Kebijakan

Namun dalam petkembangannya tampaknya nama BI7DRR ini sangat sulit diingat dan dimengerti oleh para pelaku pasar serta masyarakat pada umumnya. Sehingga kemudian BI mengubah nama BI7DRR ini menjadi BI Rate, meskipun harus dipahami juga bahwa BI Rate sebelum 19 Agustus 2023 dan setelah 23 Desember 2023 berbeda substansinya.

Tampaknya BI menyadari bahwa komunikasi merupakan salah satu alat kebijakan moneter. Selama ini yang dikenal memang ada 2 (dua) alat kebijakan moneter yaitu yang konvensional daan non-konvensional. Yang konvensional adalah: Giro Wajib Minimum (GWM), Tingkat Diskonto (Discount Rate) yaitu suku bunga kredit likuiditas BI, Operasi Pasar yaitu BI melakukan jual beli surat berharga (Khususnya SBI), dan himbauan moral. Sementara yaang non-konvensional adalah misalnya pembelian surat utang negara di pasar primer seperti yang telah dilakukan oleh BI ketika berbagi beban dengan pemerintah (burden Sharing) untuk ikut membiayai penanganan krisis akibat Pandemi Covid19.

Di samping kebijakan moneter berdasarkan UU Nomer $ tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang memberikan tugas tambahan bagi BI disamping menjaga stabilitas nilai rupiah dengan kebijakan moneter dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, juga ikut menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk ikut menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut maka BI juga merancang dan melaksanakan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial tersebut terkait dengan pengaturan: kredit (misal ketentuan uang muka kredit), terkait likuiditas (misal: ketentuan GWM yang dikaitkan dengan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga), terkait modal (misal: kewajiban bank untuk menyediakan dana untuk cadangan modal), dan terkait tata kelola (governance) misal kewajiban bank untuk mengungkapkan unsur-unsur atau komponen dari suku bunga kredit (SBDK) nya. Namun di kebijakan makroprudensial inipun tak disinggung adanya komunikasi sebagai alat kebijakan.

Memang ada perbedaan mendasar BI sebelum reformasi dan setelah reformasi (khususnya dimulai dengan terbitnya UU Nomer 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.serta revisi- revisinya kemudian) Sebelum reformasi BI merupakan Bank Sentral yang tidak independen dan terkesan "angker" artinya kebijakannya jarang disosialisasikan seturut irama rejim Orde Baru. Seringkali kebijakan moneternya "menegecoh" publik. Misalnya setelah sidang kabinet bidang ekonomi, keuangan, dan industri, Menteri Penerangan Harmoko mengatakan tidak akan ada kebijakan devaluasi rupiah( yaitu kebijakan untuk membuat kurs tetap atau kurs Rupiah yang dipatok lebih lemah dibanding dolar AS). Namun justru esoknya devaluasi dilakukan. Tujuannya agar kebijakan devaluasi tersebut efektif. Jadi seperti adu strategi antara Bank Sentral dan Pemerintah di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain. Bank Sentral dan Pemerintah  agar kebijakannya efektif harus "mengecoh" masyakarat.

Namun seiring dengan adanya reformasi, demokratisasi, dan kemajuan teknologi digital serta informasi di seluruh negara di dunia maka strategi tertutup dan mengecoh tersebut tidak lagi efektif.

Sehingga setelah reformasi BI menjadi lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel. Salah satu terjemahannya adalah bagaimana kebijakan-kebijkan yang diambil lebih transparan dan bisa dipahami oleh dunia usaha, para pelaku di pasar uang, dan masyarakat pada umumnya. Atau dengan kata lain komunikasi adalah merupakan salah satu alat atau piranti kebijakan yang sekarang ini dianggap penting oleh BI. Maka langkah BI mengganti nama BI7DRR menjadi BI Rate bisa dipahami dan merupakan upaya supaya kebijakan-kebijakan BI bisa lebih dipahami oleh dunia usaha, pelaku di pasar keuangan, maupun masyarakat pada umumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun