Sang lelaki sangat teguh pendiriannya.
Ia bagai suara di puncak gunung, yang tak peduli suara-suara di lembah di bawahnya.
Jika tidak demikian, menurut sang lelaki, hidupnya hanya terombang-ambing pada kata orang yang tak tentu kebenarannya.
Maka ia bertindak sesuai kata hati nuraninya.
Hati nurani, menurutnya, adalah suara Tuhan sendiri yang menuntunnya.
Maka pula ia tak peduli ketika sebagian besar pendapatannya tak ia nikmati sendiri tetapi dibagikannya pada yang membutuhkannya.
Pun pula ia tak peduli jika ia memilih sendiri saja, tak memiliki keluarga.
Karena dengan demikian ia lebih bebas memikirkan sesamanya yang jauh lebih banyak jumlahnya.