Sang lelaki menyusuri Kota Semarang kembali setelah lama ditinggalkannya.
Ia menyusuri Pusat kota di Simpang Lima
Pada Simpang Lima ditumpahkannya keluh kesah tentang cinta yang dulu dimulainya dari sana. Indah gemerlap bagai lampu-lampu di seputaran lapangan dan juga di sepeda serta becak-becak dengan lampu hias bercahaya.
Dilewatinya malam-malam penuh  kemesraan dengan sang gadis teman kuliahnya ketika mereka berdua tak ada tugas untuk dikerjakan bersama. Kadang minum teh bersama. Atau menikmati masakan seafood yang sedikit mewah bagi mereka ketika kiriman uang dari orangtua baru tiba.
Lalu, sampailah  kepada hal yang menyakitkan di suatu ketika. Sang gadis selesai kuliah terlebih dahulu dan pamit karena harus bekerja di Jakarta. Pada mulanya saling kabar berjalan sebagaimana mestinya. Lalu tiba-tiba berhenti tanpa ia tahu sebabnya.
Akhirnya sang lelaki lulus juga. Diputuskannya meninggalkan kota Semarang dan bekerja di Jakarta pula. Tapi tanpa sengaja, pada suatu hari, ia melihat gadis cantik menggandeng anak balita turun dari mobil mewah di depannya. Tertegun sang lelaki karena itu adalah bekas kekasihnya. Ia hendak menegurnya tapi diurungkannya karena ada lelaki perlente yang turun juga. Mungkin itu suaminya. Perih hati sang lelaki melihatnya.
Kemudian diputuskannya untuk meninggalkan Jakarta. Ia memutuskan kembali saja ke Kota Semarang yang paling tidak memberinya kenangan indah tak terlupa. Meski itu hanya kenangan, itu jauh lebih baik daripada realita yang membawa luka di Jakarta.
Biarlah Simpang lima- gumam sang lelalki- yang menjadi penanda utama Kota Semarang, menjadi penanda pula hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H