Sang wanita yang puterinya masih kecil ditinggalkan sang lelaki suaminya. Ia tergoda wanita lain yang lebih muda.
Meski hancur hatinya, sang wanita tetap melanjutkan hidup bersama puteri kecilnya. Tiap malam diajaknya sang gadis kecil berdoa agar ayahnya pulang ke rumah mereka.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat bagai lintasan kilat di malam gelap gulita. Doa memang terus dipanjatkan tetapi belum ada hasil nyata juga. Sang gadis puteri kecil telah beranjak jadi wanita dewasa, menikah, dan punya putera pula.
Tiba-tiba di suatu hari di pagi buta ada telpon berdering di rumah sang ibu yang diterima sang puteri tercinta. Ketika menerima telpon itu sang puteri marah tak terkira dan akan menutup telponnya. Sang ibu mencegahnya lalu direbut telponnya. Ternyata dari suami yang telah meninggalkannya dan kini dalam sakit parahnya ingin kembali kepadanya. Sang ibu menyilahkan suaminya kembali ke rumah mereka.
Sang puteri heran tak terkira mengapa ibunya yang sudah disakiti ayahnya sekian lama masih memaafkan dan kembali menerima.
Sang ibu menjawab dan kembali bertanya bukankah itu yang diminta kepada Tuhan dalam doa mereka sekian lama? Mengapa ketika itu terjadi sang puteri malah menolaknya?
Sang ibu menasehati puterinya. Bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan harus makin menyerupai Tuhan dengan menjadi pemaaf bagi sesama. Manusia harus serupa dengan alam ciptaan Tuhan pula bagai pasir dan batu di sunga-sungai yang tak marah ketika dialiri air yang keruh tetapi justru menjernihkannya.
Akhirnya sang lelaki pulang ke pelukan wanita isterinya dengan sakit yang parah dan kemudian pergi ke alam baka dengan tenang karena kesalahannya sudah dimaafkan oleh sang wanita pemberi cinta sejati seluas samudera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H