Sang lelaki menyepi di sebuah gubug di kaki gunung dan sendiri. Ia mulai menyiapkan sarung dan selimut tebal untuk menghangatkan diri. Dan tungku berbahan kayu bakar itu selalu menyala tiap malam hari. Agar panas bisa keluar menyatakan diri. Juga ada bubuk kopi dan air panas  yang siap untuk jadi minuman sumber inspirasi.
Lalu mulailah sang lelaki di tengah gigil ragawi menulis puisi. Puisi tentang ganjalan yang ada di nurani dan sanubari. Ganjalan yang selalu saja memunculkan diri setiap kali hujan rajin mengunjungi setiap hari seperti saat ini.
Ganjalan itu adalah tentang mengapa hujan yang datang tak termanfaatkan untuk kesejahteraan penduduk desa tempatnya menghuni. Air hujan yang semestinya rahmat karena menyuburkan  bumi, kini tak lagi. Justru bencana yang terjadi. Longsor dan banjir melanda hingga memusnahkan segala yang indah di desanya yang indah ini.
Itu terjadi ketika ada industrialisasi dan juga pembangunan perumahan yang tanpa ampun menebang semua pohon pelindung bumi.
Sudah ada usaha sang lelaki untuk mengatasi. Mengajak penduduk desa untuk berbuat sederhana dengan menanami pekarangan sendiri-sendiri. Tak hanya berguna untuk menahan air hujan agar meresap di bumi tetapi juga untuk ketahanan pangan bagi mereka sendiri. Sang lelaki berharap semoga usaha kecilnya menghasilkan buah-buah yang berguna bagi manusia dan kelestarian bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H