Lelaki itu sering berlama-lama di depan laptopnya. Ia penyair yang diakuinya sendiri tak bisa cepat memilih kata, diksi, dan rima untuk puisinya.
Suatu ketika ia sedang menulis sebuah puisi untuk kejar tayang di suatu media massa. Puisi itu penting baginya karena tabungan sudah menipis di kantongnya. Jadi harus menulis puisi sepenuh hati agar dimuat dan segera terima honornya.
Tetapi ketikaia ingin jeda sejenak untuk mengambil kopi tuk menemaninya, sang anak mendekati laptopya. Tanpa merasa bersalah sedikitpun sang anak menekan tombol dan hilanglah sudah konsep puisi sang penyair yang lama dipikirkannya.
Sang penyair dan juga ayah itu marah setengah mati terhadap anaknya. Sang anak sangat ketakutan dan menangis sejadi-jadinya. Kemarahan lelaki penyair bertahan lama. Seminggu lamanya.
Tetapi akhirnya sang penyair tersadarkan bahwa apa yang dilakukannya salah semata. Konsep puisi indah yang dihilangkan anaknya ternyata lenyap tetapi berpindah ke hati anaknya dalam kata yang sebaliknya. Ada luka tergores di hati anaknya.
Sang penyair lelaki menyesal dan memeluk anaknya serta meminta maaf kepadanya. Tetapi entahlah apakah permintaan maaf sang lelaki bisa memulihkan sakit hati anaknya. Sebab kata-kata yang menyakitkan ibarat menancapkan paku di suatu tempat seumpama. Ketika permintaan maaf eluncur maka ibaratnya dalah mencabut pakunya. Tetapi luka atau kerusakan bekas tertancapnya paku tak akan hilang bekasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI