Di gubug sederhana dengan lampu minyak berkedip si gadis kecil masih bertekun di meja kayu yang sudah usang.
Ia sedang memandangi pekerjaan rumah matematika yang tak juga bisa dikerjakannya.
Lalu airmatanya meleleh deras. Pertanda kesedihan yang tak bertepi yang sedang menderanya. Sulitnya soal matematika hanya salah satu sebabnya.
Ada hal lainnya. Ayahnya sampai hari ini tak juga dapat uang atau pinjaman untuk membayar uang sekolah. Padahal sekolah sudah tatap muka. Ia tak bisa bersebunyi dari guru dan teman-temannya.
Ditambah lagi, ibunya juga sudah lama terbaring sakit di tumah. Ia kasihan dengan ibu yang sudah melahirkannya. Rintihan sakit sepanjang malam bagaimanapun menganggu nuraninya. Tapi lagi-lagi ayahnya tak punya cukup uang untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit atau bahkan ke puskesmas saja.
Semenjak pandemi ayahnya kena PHK, ayahnya jadi pengangguran yang tak punya apa-apa.
Di tengah derasnya airmata, ia berdoa dan bertanya kepada Tuhannya: oh Tuhanku katanya engkau selalu mendengarkan doa orang yang teraniaya, apakah kau mendengar doa dan tangisan saya?Â
Tuhan tampaknya belum menjawab doanya. Malam makin larut sampai si gadis tertiodur di meja dengan PR matematika yang belum juga terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H