Sudah beberapa hari ini di tengah malam tercium harum bunga sedap malam di kamar sang lelaki.
Ia bertanya dalam hati. Pertanda apakah ini? Ia tak merasa melambungkan kidung pujian atau doa harap pada Yang Kuasa. Ia merasa sudah cukuplah kemurahan yang ia terima dari sang penguasa surga dan bumi.
Soal hati. Tak juga ia khwatir. Kekasih hati memang jauh di mata, di negeri seberang. Tetapi tetap dekat di hati. Sebab komunikasi tak pernah berhenti karena kemajuan teknologi.
Malam itu, aroma bunga sedap malam kembali hadir bahkan lebih kuat dari biasanya. Kali ini dibarengi pula hal tidak biasa berupa aroma mawar dan melati serta hinggapnya rama-rama di kaca jendela kamarnya di gelap malam.
Tengah ia bertanya-tanya dalam hati. Sampailah kabar yang membunuh hati dan rasanya. Pesan WA dari nomer kekasihnya. Tapi bukan dia yang berkirim kabar tapi temannya. Kabar duka bahwa kekasih hatinya telah pergi selamanya karena corona.
Sang lelaki hanya berpasrah diri. Kini nadi hidupnya telah pergi. Bahkan melihat raganya untuk terakhir kalipun ia tak bisa. Hanya doa yang mungkin bisa melipur rasa dan hatinya. lalu ia menulis status di medsosnya: jangan sepelekan corona. Saya adalah saksi kejamnya corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H