guru honorer di pelosok desa. Jarak dari rumahnya ke sekolah cukup jauh yang ia tempuh dengan sepeda tuanya.
Lelaki itu sudah lama menjadiBerapa honornya? Jangan tanya. Mungkin hanya cukup untuk hdiup seminggu untuk ukuran upah minimum di kota. Tapi untunglah ia hidup di desa. Uang sebesar itu cukup untuk sebulan. Tak ada godaan  ke mall, karena memang tak ada. Hiburan cukup dengan mendengarkan radio transistor tuanya atau melihat TV hitam putih miliknya yang kadang nayal kadang tidaak karena mungkin ada kabel yang kadang nyambung kadang tidak. Untuk makan ia masih bisa memetik sayur di pekarangan rumahnya.
Namun itu tak mengurangi rasa bahagianya. Bahagia karena ia masih dihormati oleh orang-orang di desanya. Murid-muridpun masih punya sopan-santun.
Jika ia datang mereka amasih berebut untuk menuntunkan sepedanya dan membawakan tasnya. Sebuah tradisi hormat yang kini sudah hilang di kota-kota.
Di masa pandemi inipun kegiatan belajar mengajar masih tatap muka. Habis bagaimana, tak ada sinyal internet dan juga rata-rata murid tak punya gawai untuk belajar online.
Setiap malam direnungkannya perjalanan hidupnya. Tapi ia tetap tak menyesal dengan pilihannya. Menjadikan anak pintar dan berbudi pekerti upahnya sangat besar nanti di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H