Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapresiasi Bung Karno

12 Agustus 2010   04:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:06 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 29 Agustus 2010 Judul: Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa Penulis: Kumpulan Tulisan Penerbit: Penerbit Buku Kompas Cetakan: 1, Maret 2009 Tebal: vi + 178 halaman ISBN: 978-979-709-409-6

“Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan…” (Bung Karno)

Tahukah Anda bahwa suara Bung Karno tatkala membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah rekaman langsung (live)? Melainkan direkam kemudian oleh Jusup Ronodipuro di kantor beliau pada tahun 1950. Rekaman itulah yang kita dengar jelang peringatan detik-detik proklamasi. St Sularto menyelipkan secuil fakta sejarah tersebut dalam artikel “Hari Konstitusi” (hal 100-107).

Persatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan perdamaian dunia menjadi cita-cita Putra Sang Fajar. Pasca merebut kemerdekaan RI, Bung Karno bersama U Nu dari Burma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, dan Jawaharlal Nehru dari India membentuk gerakan nonblok. Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 menjadi tonggak kebangkitan negara-negara dunia ketiga. Terobosan progresif tersebut membuat lawan-lawan politik Bung Karno kalang-kabut. Yakni mereka yang selama ini menarik keuntungan dari perang, perlombaan senjata, dan dikotomi 2 blok besar dunia.

Majalah Time (Edisi Asia, 16 Agustus 1999) memilih Ir. Soekarno sebagai salah satu dari 20 tokoh Asia paling berpengaruh di abad ke-20. Budiarto Shambazy menceritakannya secara lebih rinci dalam artikel “Versi “Time” Bung Karno Tokoh Paling Top” (hlm. 54-57). Setiap tahun masyarakat menghadiri perayaan haul Bung Karno. Makamnya di Blitar - walau sudah dijauhkan dari pusat kekuasaan di Ibukota - tetap saja dibanjiri para peziarah.

Fakta menarik lainnya ialah sepak terjang Joseph Burholder Smint, Deputi Ketua FE/5 dari Direktorat Perencanaan Central Intelligence Agency (CIA). Ia pernah merancang aksi spionase untuk mencemarkan nama baik Soekarno. Caranya dengan membuat film biru berjudul Happy Days. Untungnya, upaya licik tersebut mengalami kegagalam karena mereka kesulitan menemukan aktor yang benar-benar mirip Bung Karno. Trias Kuncahyono mengulasnya dalam artikel “Skandal Ames, antara CIA dan Bung Karno” (hlm. 85-90).

Di balik kesuksesan tokoh besar dunia selalu ada kontribusi rakyat kecil (wong cilik) yang mengabdi dengan penuh loyalitas. Kisah kehidupan Riwu Ga sungguh inspiratif. Pria asal Flores itu berjumpa Bung Karno di Ende pada tahun 1934. Saat itu Riwu baru berumur 18 tahun. Sesudah pertemuan tersebut ia ibarat menjadi bayangan Bung Karno. Saat penahanan Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1936 ia pun turut serta. Bahkan saat masih menikah dengan Ibu Inggit, Bung Karno meminta Riwu tidur di depan pintu di dalam kamar mereka.

Uniknya, Riwu menyimpan rapat-rapat petualangannya itu. Keluarganya pun tak mengetahui bila tidak membaca buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adam karena di situ nama Riwu Ga disebut-sebut. Pepatah Kejawen mengatakan, “Ambeg utama, andhap asor.” Jadilah yang pertama, tapi jangan pernah pamer. Riwu ialah orang pertama yang didaulat Bung Karno untuk menyebarluaskan berita proklamasi kepada khalayak ramai. Anwar Hudijono mengisahkannya dalam artikel “Riwu Ga, Terompet Proklamasi Bung Karno” (hlm 24-30).

Riwu melambai-lambaikan bendera merah putih di atas jip terbuka, seraya berteriak menggunakan megafon di sepanjang jalanan Ibukota. Resiko ditembak kempetai (mata-mata Jepang) tak menyurutkan nyalinya. Ironisnya, Riwu Ga - hingga akhir hayat tepat pada tanggal 17 Agustus 1996 - tak pernah sekalipun diundang untuk memperingati upacara kenegaraan HUT kemerdekaan RI oleh para pejabat di kecamatan, apalagi provinsi.

Buku ini sebuah apresiasi kecil terhadap perjuangan Bung Karno. Terlepas dari segala kelemahan manusiawi beliau. Kontribusinya begitu besar bagi Ibu Pertiwi. Para politisi, akademisi, pemuka masyarakat, tokoh agama, dan warga negara biasa perlu menimba ilmu dari bapa pendiri bangsa (the founding father) tersebut. Terngiang pesan Sang Penyambung Lidah Rakyat, “Apakah Kelemahan kita? Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong!” (Pidato HUT Proklamasi, 1966).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun