Dimuat di Pontianak Post, Sabtu/22 Januari 2011 http://issuu.com/ptkpost/docs/23012011 Judul: Oeroeg Penulis: Hella S. Haasse Alih Bahasa: Indira Ismail Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Cetakan: 1, Oktober 2009 Tebal: 144 halaman ”....lebih tinggi atau lebih rendah karena warna kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu – itu omong kosong. Oeoroeg kawanmu, kan? Kalau memang ia kawanmu – bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?” (Halaman 64) Begitulah cara Hella S. Haasse menyampaikan ide besar egalitarian lewat roman ini. Hella dilahirkan di Batavia (Jakarta) pada 2 Februari 1918. Ia seorang penulis kondang, para penggemar memberinya gelar Grand Old Lady of Dutch Literature (Sastrawati Senior Hebat Belanda). Bahkan pada tahun 2007 Penerbit Querido mendedikasikan museum khusus. Di dalamnya tersimpan arsip buku, riwayat hidup, dan sederet penghargaan sastra (http://nl.wikipedia.org/wiki/Hella_S._Haasse). Buah karyanya berupa novel sejarah, esai, otobiografi, dan cerita pendek. "Oeroeg" berlatar belakang Hindia-Belanda (Indonesia). Tepatnya di perkebunan teh di daerah Sukabumi. Roman yang ditulis pada tahun 1948 ini melukiskan lika-liku persahabatan seorang sinyo Belanda dengan anak pribumi asli. Usia mereka hanya terpaut beberapa minggu. Ibunda tokoh ”Aku” dan Sidris (Ibunya Oeroeg) begitu kompak, "...mereka duduk di serambi belakang sambil menjahit dan berbincang akrab tentang pengalaman, ketakutan, dan keinginan... Meskipun mereka memandang dunia ini dengan cara masing-masing, serta tak lancar berbincang dalam bahasa satu sama lain, keajaiban yang sama menggelembung di balik rok ibuku dan sarung Sidris, di rahim keduanya." (Halaman 7). Rok dan sarung menjadi simbol perbedaan 2 budaya (Eropa dan Nusantara). Kendati demikian, itu tak menjadi penghalang bagi interaksi para calon Ibu tersebut. Tokoh ”Aku” acap kali mengkritisi perlakuan diskrminatif terhadap Oereog. Misal, saat mereka menginjak usia sekolah, si ”Aku” belajar secara private dari Mijnheer Bollineger, seorang guru bahasa Belanda. Sedangkan Oeroeg bernasib malang, ia hanya boleh menyimak dari kejauhan. Untungnya, Oeroeg bisa bersekolah sampai tingkat MULO (setara dengan SMP). Ia dibiayai oleh Administrateur. Sebagai balas budi terhadap jasa almarhum ayahnya. Deppoh menyelamatkan tokoh ”Aku” saat hampir tenggelam di Telaga Hideung. Setamat dari MULO Oeroeg melanjutkan studi ke Nederlands Indische Artsenschool di Surabaya. Lida (walinya yang berkebangsaan Belanda) mendampingi hingga (kelak) ia menjadi seorang dokter. Ibarat kacang lupa kulitnya, lenyap pula segala sifat Oeroeg yang mencerminkan jati dirinya sebagai anak desa. Ia lebih suka berbahasa Belanda, selera berpakainnya pun menjadi ”kebarat-baratan.” Peci tak lagi menghiasi kepala, rambutnya dibiarkan menebal dan klimis berminyak. Bahkan ia tak mau lagi mengunjungi keluarganya di Sukabumi. Oeroeg melakukan segala cara untuk menjadi Indo Eropa. Begitu besar obsesinya menjadi wong liyan (the others). Persahabatan ”Aku” dan Oeroeg mulai retak tatkala Abdulah hadir di tengah mereka. Pria keturunan Arab tersebut menyadarkan Oereog akan kesewenang-wenangan sikap Belanda terhadap rakyat pribumi. Misal, saat menonton film layar tancap, kenapa kaum inlander musti duduk di balik layar? Sehingga semua tulisan terjemahan terpaksa dibaca secara terbalik. Perjalanan hidup ”Oeroeg” ibarat pendulum/bandul. Ia bergerak dari satu ekstrim ke kutub lain. Hingga akhirnya mencapai titik keseimbangan. Roman ini memakai sudut pandang orang pertama tokoh ”Aku”. Alur ceritanya mengalir lembut, pilihan bahasanya juga pas, dan bagian penutup (ending)nya mengejutkan. Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H