Dimuat di Forum Akademia, KOMPAS Jateng-DIY, Jumat 15 Juni 2007.
Pada perayaan hari lahir ke-62 Pancasila lalu penulis bersama National Integration Movement Joglosemar berziarah ke Makam Bung Karno dan menghadiri Kenduri Pancasila yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Yang mencolok ialah seluruh peserta mengenakan kaus hitam bertuliskan GPP (Gerakan Pengamal Pancasila). Memang cara untuk membangkitkan kembali nilai-nilai Pancasila ialah dengan nglakoni alias mengamalkannya dalam hidup sehari-hari.
Menurut Bung Karno, Pancasila adalah meja statis sekaligus Leidstar (bintang pimpinan) dinamis. Bung Karno menggogo (menyelami) saf-saf peradaban leluhur kita sejak zaman pra Hindu hingga masuknya imperialisme Barat.
Sejak belia Putra Sang Fajar sudah memikirkan landasan kokoh bagi struktur bangsa. Buah permenungan tersebut lantas dipersembahkan ke haribaan rakyat dan di altar Ibu Pertiwi. Tepatnya pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Secara aklamasi, diiringi tepuk tangan riuh rendah, semua golongan tanpa terkecuali menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Celakanya, kini ada segelintir orang yang lupa sejarah hendak mengganti Pancasila dengan ideologi "impor" yang tak berakar pada budaya Nusantara. Padahal, Pancasila sakti, menurut Ki Hadjar Dewantara, merupakan saripati budaya bangsa telah terbukti mampu mempersatukan segenap elemen masyarakat. Memang dalam perjalanannya ada penyelewengan. Misal pada masa Orde Baru, waktu itu terjadi penyeragaman pola pikir secara massif dan terorganisasi lewat penataran P4.
Kini perlu upaya konkret untuk membumikan nilai-nilai Pancasila bagi orang modern, utamanya generasi muda. Misal, seperti yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK) pada akhir Agustus 2006. Kebetulan penulis menjadi koordinator lomba menulis kebangsaan bagi siswa-siswi SMA se-Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tersebut. Energi stres yang terakumulasi akibat gempa bisa ditransformasi menjadi energi kreatif yang konstruktif, caranya dengan menulis esai.
Anand Krishna selaku penggagas acara ini memaknai kembali nilai- nilai Pancasila secara gaul dan funky. Sila I Spiritualitas: Banyak Jalan Satu Tujuan; Sila II Humanitas: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia; Sila III Nasionalitas: Siapapun Kau, Kau Orang Indonesia; Sila IV Soverenitas: Ramah Tamah dan Sopan Santun; Sila V Sosialitas: Gotong Royong.
Peserta yang sebagian besar kelahiran 1990-an ini begitu elegan mengemas nilai- nilai Pancasila. Misal Adjeng Bunga Bangsa dari SMA Taruna Nusantara menulis dalam esai bertajuk "Bersatu dan Kau Menang", berikut kutipannya, "...Perbedaan itu adalah harta karun Indonesia. Perbedaan itu adalah anugerah dan kurnia Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita syukuri. Semua itu adalah amanat yang harus kita jaga dan kita lestarikan dengan baik. Pernahkah Anda melihat negara lain yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang tiap-tiap daerahnya memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan yang lainnya, dan mampu bersatu padu? Carilah di seluruh dunia dan jawabannya hanya Indonesia" (halaman 8).
Sepakat Dik! Pancasila memang alat pemersatu yang sakti untuk mewujudkan Indonesia Jaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H