http://rimanews.com/read/20110326/21540/hidup-tak-dari-roti-saja
RIMANEWS/Sabtu, 26 Mar 2011 04:31 WIB
Oleh: T. Nugroho Angkasa*
Syafii Maarif menyentil para thugtator (bahasa Hindi) lewat artikel “Tumbangnya para Pancilok”. Yakni para penguasa yang meminjam istilah Evo Morales – hidup dari rakyat. Padahal sejatinya politik merupakan sarana melayani rakyat. Jauh-jauh hari Romo Mangun juga memiliki gagasan senada.
Ironisnya, fakta di lapangan berbanding terbalik. Dapat dilihat dari catatan APBN 2010. Pembiayaan birokrasi ternyata mencapai Rp 162 triliun. Sedangkan Rp 153 triliun masuk ke neraca cicilan utang. Bandingkan dengan dana pengentasan kemiskinan yang hanya Rp 80 triliun.
Sebagai seorang guru muda di sekolah swasta, penulis mengalami sendiri bagaimana korupnya birokrasi kita. Bahkan di ranah yang konon sangat mulia, bidang pendidikan. Setiap kali ada supervisi dari dinas terkait. Selain menyiapkan kelengkapan KTSP, RPP dan silabus, perlu juga dipersiapkan “bingkisan” ala kadarnya agar bisa mendapat akreditasi A. Tentu tidak gebyah uyah, tetap ada pengecualian, tak semuanya begitu.
Lantas Buya menawarakan filosofi Gandhi sebagai solusi transformasi sosial. Menurutnya inti ajaran Sang Mahatma ialah, ”Saat aku patah harap, aku senantiasa ingat segalanya bahwa melalui jendela sejarah, jalan kebenaran dan cinta selalu menang. Di sana banyak tiran dan pembunuh, dan untuk sementara mereka tampak tak terkalahkan, tetapi di ujung perjalanan, mereka selalu tumbang. Renungkan ini, senantiasa.”
Luoise Fenner juga mengisahkan perjalanan Martin Luther King Jr ke India (1959). Pejuang kesetaraan hak sipil di Amerika Serikat tersebut menimba inspirasi dari Sang Mahatma. Gandhi dan Martin King Jr meyakini bahwa perlawanan tanpa kekerasan sebagai senjata ampuh bagi kaum tertindas dalam meraih kebebasan dan keadilan.
Gandhi berhasil menyudahi penjajahan Inggris dan meningkatkan kesejahteraan kasta Sudra yang tak pernah tersentuh dan diperhatikan sama sekali (untouched) tanpa sebutir pelurupun. Kalau toh ada sebutir peluru, itupun bersarang dalam tubuh Sang Mahatma sendiri. Tujuannya membangun persatuan yang lebih sempurna di India.
Dalam konteks persatuan umat manusia yang menyiratkan kebenaran universal alam semesta: Kita semua satu umat manusia dan merupakan satu keluarga besar. Senada dengan pesan Bung Karno yang menempatkan kebangsaan Indonesia dalam bingkai taman sari kemanusiaan.