Dimuat di Media Indonesia, 21 Juni 2008
Judul Buku : Be Happy! Jadilah Bahagia dan Berkah bagi Dunia Penulis : Anand Krishna Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Edisi : I, April 2008 Tebal : xv + 177 halaman JUDUL di atas terinspirasi oleh lagu Slank Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Syair aslinya berbunyi, 'Hak manusia ingin bicara, hak manusia ingin bernyanyi, kalau sumbang janganlah didengarkan, kalau merdu ikutlah bernyanyi...' Saya bukan anggota Slankers, tapi kagum dengan konsistensi grup musik yang dipunggawai Kaka dan Bimbim tersebut dalam menyuarakan pesan-pesan perdamaian di bumi Nusantara tercinta, utamanya di kalangan orang muda. Buku ini memuat penelitian BBC berkaitan dengan tiga penyebab manusia menjadi bahagia. Yakni kesehatan, persahabatan, dan kepuasan/ketenangan batin.
Misalnya seputar kesehatan, acap kali orang tidak mensyukuri anugerah tersebut apabila masih segar-bugar. Tidak pula merasa perlu untuk mempraksiskan pola hidup sehat dalam keseharian. Lewat buku ini, Anand Krishna membagi pengalaman seputar kesadaran dan kesehatan holistis. Selama 31 tahun, mantan pengusaha garmen tersebut tidak pernah diopname.
Tapi sekali sakit ia langsung mondok di rumah sakit selama berbulan-bulan karena pria keturunan India kelahiran Surakarta tersebut mengidap leukemia akut pada 1991. Saat itu, pengobatan kanker belum secanggih sekarang, alternatif yang ada ialah cangkok sumsum tulang belakang. Ironisnya metode pengobatan tersebut hanya tersedia di luar negeri. Baru saat itu penulis produktif 110 buku laris itu sadar makna hidup sehat. Selain itu lebih dari 48% responden lain memprioritaskan persahabatan sebagai kebutuhan utama manusia. Mereka menyayangkan minimnya interaksi intra dan antarpersonal di kota-kota besar. Banyak orang merindukan nuansa hangat perdesaan, misalnya dengan memiliki rumah 'mewah' (mepet/dekat sawah). Kenapa? Karena konteks tersebut lebih memfasilitasi terjalinnya hubungan mesra dengan para tetangga serta lingkungan alam sekitar. Awal tahun ini The Jakarta Post juga mengadakan jajak pendapat senada. Apa yang paling membahagiakan manusia Indonesia? Jawabnya berbanding terbalik dengan hasil penelitian di muka. Ternyata yang paling membahagiakan ialah Tuhan dan uang. Ironisnya pemahaman - meminjam istilah Romo Mangun - religiusitas kita masih terkotak-kotak. Karena orang cenderung menganggap agamanya paling benar. Istilah toleransi sinonim dengan interpretasi sepihak, "Oke kamu saya toleransi, tapi tetap agama saya paling benar." Padahal esensi semua agama dan kepercayaan di dunia ini menandaskan kasih, perdamaian, dan apresiasi terhadap pelangi kebhinekaan sebagai sebuah keniscayaan hidup. Ibarat aliran sungai semuanya bermuara di samudra yang satu adanya. Misalnya di Yogyakarta, di sini ada Sungai Code, Kali Gajah Wong, dan Progo, toh semuanya bersatu di Segoro Kidul (Laut Selatan). Sekitar 145 tahun silam, seorang sufi bernama Mirza Ghalib melawat di New Delhi. Konon, ia menghadiri upacara Hindu, perayaan Deepavali alias malam 1.000 cahaya. Di sana ia dijamu temannya itu. Ia makan beberapa potong kue kering. Lantas di jalan ia bertemu dengan seorang pemuka agama. Ulama itu berang dan berkata, "Ghalib kamu keterlaluan, sudah ikut upacara orang Hindu dan makan kue orang Hindu. Apakah kamu tidak takut pada murka Tuhan?" Ghalib menjawab dengan santainya, "Waduh celaka benar aku, tolong Bapak memberikan daftar, mana kue orang kafir dan mana kue orang beriman." Hidup ini pendek, 'urip mung mampir ngombe,' kata peribahasa Jawa. Oleh sebab itu seyogianya manusia menjalani lawatan kali ini dengan penuh keceriaan dan semangat persaudaraan. Mangkunegoro IV pernah berpesan lewat Serat Wedhatama. Sudahlah tidak perlu berbahasa asing kalau mau berhubungan dengan Tuhan. Sudah jadi wong Jawa, pakai saja bahasa Jawa. Misalnya, coba dalam sehari minimal tiga kali berkata pada-Nya, "Gusti, kulo tresno marang Slira-Mu". Artinya, 'Tuhan aku cinta pada-Mu.' Niscaya mata air kebahagiaan dan syukur mengalir dari dalam diri ini. Ironisnya, manusia Indonesia justru banyak menderita karena lupa belajar seni yang satu itu. Orang melakukan tindak kekerasan di Monas pada hari lahir Pancasila ke-63 karena sedang mencari kebahagiaan. Tapi, dengan cara keliru. Mereka mencari kebahagiaan di luar diri. Ironisnya dengan cara merusak pula. Ibarat anak kecil mereka mencari perhatian dari orang tua dan lingkungan sekitar. Mereka lupa bahwa dengan merusak sesuatu di luar niscaya segala suatu di dalam, termasuk eksistensi kemanusiaannya pun turut terkoyak. Memang hak semua orang untuk bahagia. Oleh sebab itu, pertama dan utama marilah menjunjung tinggi hak orang lain untuk berbahagia. Secara psikis, kenapa orang menjadi keras? Karena kurang cinta. Orang yang keras dan melakukan kekerasan adalah orang yang sakit. Kita mesti mengasihani dia, tidak perlu mengomeli dia. Kita masukkan dia ke 'rumah sakit' (baca: penjara). Suatu saat kita bisa jenguk dan ceritakan seputar seni hidup bahagia dalam cinta. Selanjutnya, buku ini memaparkan pula tips untuk mengecap kebahagiaan sejati. Pepatah lama mengatakan, experience is the mother of wisdom. Oleh sebab itu, kita diajak untuk belajar dari para pendahulu zaman yang pernah mengguyuri bumi biru ini dengan hujan kesadaran. Misalnya Sang Buddha, 3.000 tahun silam beliau 'merayu' umat manusia untuk menjadi bahagia dan berbagi pencerahan dengan apa dan siapa saja. Sebaliknya, bapak psikologi modern Carl Jung mengatakan kebahagiaan tak bisa ada tanpa pembandingnya, yakni kesusahan. Dua hal di muka tampak berseberangan, secara redaksional berbeda, tapi sejatinya rapat bertautan. Para Buddha kontemporer niscaya menjadi bahagia hanya (dan hanya jika) telah menerima penderitaan sebagai penderitaan. Miliki yang kumiliki, inilah dia aku puas! Yang menarik lagi ialah ulasan Anand Krishna seputar Kenesologi (halaman 129). Yakni ilmu gerak (kinesis, dari bahasa Yunani) otot dikaitkan dengan keadaan fisik dan mental seseorang. Pelopor ilmu mutakhir ini ialah Dr David R Hawkins. Beliau menulis pula buku Power Vs Force (Hay House, 2002). Temuan pakar tersebut begitu memukau. Tatkala manusia melakukan tindak kekerasan, otot-otot tubuhnya melemah dan berdampak pula pada jiwa sehingga tak mampu berfungsi (baca: mencintai) secara wajar. Level paling bawah menggambarkan kondisi ini ialah pada angka 20 yakni saat seseorang ketakutan dan nekat melakukan tindak kekerasan. Para pelaku bom bunuh diri, preman berjubah yang menggunakan cara-cara 'himsa' (kekerasan) berada pada kisaran ini karena energinya begitu rendah. Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra, Abu Bakar Baasyir, Munarman, Rizieq, dkk terobsesi untuk merusak diri-sendiri dan mencelakakan sesama anak bangsa. Ibu Pertiwi merintih menyaksikan putra-putrinya tercerai-berai hanya karena ulah segelintir aktor intelektual yang memancing di air keruh. Ronggowarsito pernah mengatakan memang kita sekarang hidup di zaman edan. Kita hidup di tengah-tengah orang gila, tapi tidak berarti kita musti ikut-ikutan menjadi gendeng. Jangan jadi gila, jadilah waras. Syaratnya mudah, jadilah bahagia. Sebab tidak ada alasan bagi kita untuk melewatkan perayaan kehidupan ini. Sekarang kita maunya apa, menjadi bahagia atau bermuram-durja? Semuanya adalah pilihan bebas saya, Anda, Kita! Salam Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H