Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2007.
Menurut Anand Krishna, umat manusia berpijak di atas bumi yang satu dan bernaung di bawah atap langit yang sama (one earth, one sky, one humankind). Aktivis spiritual ini mengajak setiap insan dan segenap elemen masyarakat untuk proaktif meminimalisir dampak negatif pemanasan global (global warming).
Data terakhir menunjukkan bahwa selain Amerika Serikat dan Cina, ternyata Indonesia juga tercatat sebagai tiga besar emisor CO2 ke atmosfer bumi. Konferensi United Nation Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang digelar di Bali pada 3 - 14 Desember 2007 merupakan momentum penting untuk mengubah serapah menjadi berkah.
Salah satu caranya dengan mengkampanyekan program Bike for (Mother) Earth. Ibarat cendawan di musim hujan, kini banyak bermunculan komunitas sepeda di Gudeg City. Misalnya, Jogja Onthel Community (JOC), Komunitas Podjok, Generasi Onthel Club (GOC) Bantul, Bike to Work dll. Selain menyandang gelar kota budaya, pelajar dan wisata, Yogya juga dikenal sebagai kota sepeda. Setiap pagi pekerja dari pelosok Bantul, Godean, Sleman dan Prambanan berduyun-duyun ngonthel menuju Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencari nafkah. Para akademisi dan seniman juga lebih suka ngepit karena relatif lebih ngirit.
Menurut Dr Damardjati Supadjar istilah onthel itu bernuansa saru. Dalam bahasa Jawa merujuk pada alat kelamin laki-laki. Makanya pakar Kejawen ini lebih suka menyebut sepeda dengan kereta angin. Lebih lanjut keunggulan kereta angin ialah konsep melaju menggunakan kayuhan kedua kaki. Ibarat pepatah, “Sambil menyelam minum air”, sembari bersepeda bisa menyehatkan jantung pula.
Lantas, siapa penemu sepeda? Ada banyak versi. Tapi menurut keputusan The International Cycling History Conference (ICHC) atau Konferensi Internasional Sejarah Sepeda, penemu kendaraan beroda dua yang berputar atas prinsip keseimbangan tersebut bernama Karl Von Drais, pria berkebangsaan Jerman.
Menurut hemat penulis bersepeda ialah praksis ramah lingkungan. Pepatah Afrika mengatakan, “Bicara tak akan membuat nasi menjadi matang”. Artinya, bukan retorika yang diperlukan untuk menyelamatkan ‘Ibu Bumi’ melainkan aksi nyata. Menyitir seruan Benyamin Disraeli, “Tindakan tidak selalu membawa hasil, tapi tak ada hasil tanpa tindakan!” Ambil contoh di Kolombia. Pemerintah setempat berhasil merevolusi sistem moda transportasi di Bogota. Konsepnya sederhana yakni memberikan 75% dari jalan yang ada untuk pesepeda dan pejalan kaki. Hasilnya kemacetan lalu lintas hanya ada dalam mimpi dan tingkat pencemaran udara di sa-lah satu kota terbesar di Amerika Latin tersebut menurun drastis dalam satu dasawarsa terakhir.
Secara lebih mendalam, benar apa yang dikatakan oleh Ngarsa Dalem, istilah global warming itu tak merakyat. Sehingga perlu dicari kosakata lain yang lebih populis. Misalnya, pemanasan bumi, (Ibu) Bumi Gerah dan seterusnya.
Akhirulkalam, alih-alih membangun jalur bus way, Pemkot juga musti menyediakan jalur sepeda (bike way) di sepanjang ruas jalan. Selain itu perlu digalakkan program free motor/car day alias sehari tanpa kendaraan bermotor. Misalnya tiap hari Jumat. Tentu ada pengecualian bila hendak bepergian ke luar kota. Inilah solusi konkret untuk membuat bumi Mataram tercinta sedikit lebih adem sebab, if not us than who, if not now than when?, artinya ‘kalau bukan kita lalu siapa, kalau tidak sekarang lantas kapan?’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H