Mungkin sudah ada pelayanan tersebut pada siang atau pagi hari. Sebab saya melihat ada papan pajangan gambar anak-anak. Bagus sekali bila anak-anak pengungsi difasilitasi untuk menyalurkan kreatifitasnya lewat seni dan permainan lainya. Lanjutkan :-)
Pada jadwal acara di depan aula juga terpasang program senam massal pada pagi hari. Ini sangat membantu pengungsi agar tetap fit secara fisik.
2.
Saat masih di barak-barak pengungsian di atas. Para pasutri memohon agar disediakan "bilik bercinta". Semoga petugas relawan di GOR UNYÂ juga mendengarkan aspirasi tersebut.
Bencana Merapi belum tahu kapan akan berakhirnya, para pasangan suami-istri juga manusia biasa yang notabene butuh untuk sejenak rileks dan berkasih-kasihan.
Hiburan juga perlu ditambah. Misalnya dengan mengundang kelompok campur sari, keroncong, organ tunggal, dan kesenian daerah lainnya. Pasti banyak seniman Jogja yang bersedia menghibur para pengungsi secara cuma-cuma.
Akhir kata, walau sudah relatif memadai sarana dan pelayanan dari 300-an relawan di GOR UNY, tetap saja yang namanya mengungsi memang (tidak) enak. Privasi tidak ada dan ruang gerak terbatas sekali.
Saat menulis reportase ini untuk kompasiana.com, saya menyadari betapa berharganya kehidupan saya dalam kehidupan "biasa" sehari-hari. Tapi kadang saya lupa untuk bersyukur. Atas kamar pribadi, kasur empuk, selimut hangat, dan hal-hal sepele lainnya.
Acungan dua jempol buat UNY yang bersedia menyediakan tempat bagi para pengungsi Merapi, angkat topi kepada semua relawan yang bekerja tanpa pamrih siang dan malam. Tuhan yang Maha Esa yang membalas jasa dan budi baik kalian.
Akhirkata, bagi sidang pembaca kompasiana.com, semoga ada manfaatnya coretan singkat ini. Terimakasih...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H