Mohon tunggu...
E. Nugroho
E. Nugroho Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, ilmuwan, seniman, pengamat bahasa

Dokter, pengamat bahasa, pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yang Pasti Luput dari Pemeriksaan Kesehatan Capres

26 Mei 2014   00:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah medis telah lewat. Kedua capres telah dinyatakan "sehat jasmani dan rohani"; boleh mengikuti proses pemilihan presiden. Banyak berita menarik tentang itu; bagaimana Jokowi pusing harus mengisi 500 pertanyaan; bagaimana mereka harus menggambar rumah (Jokowi menggambar istana, katanya), dll.  Sekadar berbagi ilmu, ini adalah beberapa butir yang menarik:


  • Menggambar: ini adalah salah satu tes psikologi yang sering digunakan untuk menilai kejiwaan seseorang, bukan menilai kemampuan artistiknya. Jadi tidak ada masalah hasil gambar bagus atau jelek. Kita umumnya disuruh menggambar rumah, pohon, dan orang. Tujuan utamanya, menilai apakah Anda sakit jiwa berat (gila, psikotik) atau tidak. Gambar yang dibuat oleh orang gila biasanya aneh sekali. Tapi kadang memberi kesan artistik yang luar biasa, seperti lukisan terkenal Van Gogh saat dia kumat gilanya.
  • Tes kesehatan jasmani: Butir-butir medical test umumnya ditentukan oleh organisasi atau perusahaan tenpat seseorang melamar kerja. Misalnya, calon tukang listrik harus bisa membedakan warna merah, hijau, kuning, dan hitam. Wajar saja. Karena kalau kabel dipasang terbalik, parah lah. Tapi orang yang tidak lulus tes buta warna kadang bisa membedakan keempat warna itu. Jadi tidak adil kalau hanya karena vonis "buta warna" lalu seseorang dibuang (begitu kata seorang insinyur listrik bule--yang "buta warna"--di tempat saya dahulu bekerja)... Nah, sekarang, siapa yang menentukan butir-butir pemeriksaan untuk capres kita tadi? IDI... Ok. Tapi butirnya apa saja? Bagaimana kriterianya?  Sungguh ajaib kalau masyarakat tidak boleh tahu butir apa yang diperiksa, juga kriterianya, dan kemudian (misalnya) tim pemeriksa menyatakan capres tidak boleh maju. Yang harus menentukan boleh maju atau tidak adalah rakyat. Bukan dokter. Seperti pada kasus butanya Presiden Abdulrahman Wahid dahulu. Jadi untuk ke depan, IDI perlu mengumumkan secara terbuka, di situs internetnya, hal-hal yang diperiksa (bukan hasil pemeriksaan). Lalu melaporkan pada rakyat, masalah medis apa yang bisa menghambat kerja presiden tadi. Misalnya saja, presiden menderita kanker berat, umur tinggal 6 bulan, apakah rakyat mau? Mungkin saja. Kalau dalam sisa waktu itu si presiden dapat menyelesaikan hal-hal yang sangat penting di negara tadi. (Ada presiden AS yang memang cuma kerja 6 bulan).
  • Tes kejiwaan: Di atas telah ditulis tentang tes gambar untuk menyingkirkan orang yang gila, edan, psikotik, skizofrenik (artinya hampir sama). Sebenarnya tanpa tes di atas, orang sudah bisa menentukan apakah Jokowi dan Prabowo gila atau tidak. Jelas mereka tidak edan. Jadi sebenarnya tes psikologi tadi percuma saja bukan? Lalu, tes untuk menentukan apakah ada kelainan afektif (mood); apakah orang cenderung sedih (depresi) atau marah-marah tanpa sebab (mania) atau marah oleh sebab yang kecil saja bagi orang normal... Ini juga susah ditentukan lewat tes. Lebih banyak bukti bisa didapat dari orang di sekitarnya.... Jadi, yang perlu dites sebenarnya adalah kecenderungan psikopati; apakah seseorang cenderung melakukan perbuatan keji pada orang lain, hanya demi kepentingan pribadi, tanpa peduli penderitaan orang lain. Itu yang penting! Penjara konon penuh dengan orang-orang seperti itu; pembunuh berantai, perampok kambuhan, pembunuh masal... Tapi ini juga tidak bisa diuji lewat tes biasa. Orang dengan kecenderungan psikopati bisa memiliki IQ yang sangat tinggi sehingga dapat menerka arah pertanyaan tes dan menjawab sesuai dengan yang diharapkan oleh pelaku tes, untuk lulus. Data ini umumnya hanya terungkap setelah seseorang ditangkap polisi dan diperiksa... Jadi, hanya dengan membandingkan jawaban dan perilaku seseorang kita bisa menentukan kecenderungan psikopati seseorang. Lalu, bagaimana dokter atau ahli jiwa bisa mengetahuinya? Tidak bisa. Tapi masyarakat mungkin bisa, karena ada orang atau teman yang mungkin menyaksikan perbuatan yang tidak dilihat oleh si dokter.  Jadi, sebenarnya pertanyaan dan jawaban dalam masalah itu ada baiknya disebarkan ke masyarakat. Lalu bagaimana dengan kerahasiaan rekam medis? Nah, di situlah dilemanya. Itulah sebabnya di AS tidak  ada syarat pemeriksaan kesehatan bagi capres (tapi capres boleh menyiarkan hasil pemeriksaan). Karena kalau mau akurat, hasil perlu diumumkan ke masyarakat. Bayangkan kalau pertanyaan ini dilayangkan: Apakah Anda sering ke tempat pelacuran atau berhubungan seks dengan orang yang bukan isteri Anda? Coba... Kalau dijawab "iya", susaaah. Kalau dijawab "tidak" pun susaah bagi orang tertentu. Serba salah  bukan? Itu pertanyaan yang sah, valid, sahih, bagi dokter dan dokter jiwa.


Jadi? Apa kesimpulan Anda? Kalau menurut saya, lebih baik pemeriksaan begini dilewatkan saja. Tidak usah. Membuang uang, waktu, pikiran, emosi. Tanpa hasil apapun. Atau adakah dokter atau dokter jiwa yang berani berkata: "saya bisa menentukan apakah seseorang punya kecenderungan setengah psikopat?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun