[caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="Ilustrasi. Sumber: http://internationalpsychoanalysis.net/"][/caption]
Ada orang bertanya, anakku sering marah, ngamuk, tanpa sebab jelas. Mesti aku bawa ke mana dia? Psikolog atau psikiater?Mari kita bahas dulu apa itu psikologi dan apa psikiatri itu.
Psikologi sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ilmu jiwa”, sedangkan psikiatri adalah “ilmu kedokteran jiwa” atau “ilmu penyakit jiwa”. Dalam bidang pendidikan, psikologi merupakan fakultas tersendiri, sedangkan psikiatri adalah bidang ilmu spesialisasi kedokteran; jadi gelar psikiater hanya bisa didapat setelah seseorang menjadi dokter umum.
Banyak sekali bidang psikologi. Ada psikolog yang bekerja di perusahaan, menyaring karyawan baru, ataupun menilai karyawan lama, atau menangani hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia lainnya. Ada yang bekerja untuk kepolisian, mengkhususkan diri di bidang kriminal. Ada yang mengkhususkan diri di bidang sosial dll. Dalam tulisan ini saya akan membatasi pada psikolog klinis. Mereka menangani orang yang normal ataupun abnormal.
Ahli ilmu penyakit jiwa (psikiater), sesuai gelarnya, yakni dokter, menangani orang yang menderita kelainan jiwa. Orang yang abnormal. Sakit jiwa. Sering dikatakan bahwa psikolog menangani kelainan jiwa yang ringan sedangkan psikiater, atau dokter penyakit jiwa, menangani penyakit jiwa yang berat. Tetapi psikolog dapat juga diminta membantu psikiater menangani pasien yang berat. Yang perlu ditekankan disini adalah: psikolog tidak boleh menangani sendiri penyakit jiwa yang berat, misalnya skizofrenia (gila), bila dia menemui kasus ini. Dia seharusnya merujuk orang tersebut ke dokter ahlinya, psikiater.Psikiater berhak menangani sendiri semua kasus penyakit jiwa. Bila perlu, psikiater dapat meminta psikolog untuk membantunya. Di rumah sakit jiwa Grogol, misalnya, juga terdapat psikolog.
Pada masa kedokteran modern sekarang ini, terdapat kecenderungan terhadap apa yang disebut psikobiologi. Dulu beda. Kalau orang sedih sekali, depresi berat, dilakukanlah psikoanalisis dan psikoterapi. Ditanya-tanya masa kecilnya. Kenapa dia jadi sedih. Apa mimpi-mimpinya. Apa keuntungan yangdidapat orang tadi dengan bersikap sedih, lalu diberilah saran untuk memperbaiki cara berpikirnya. Diberi dorongan untuk bangkit lagi, dst. Dia perlu bolak balik ke psikolog atau ke psikiater berkali-kali, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sekarang beda. Kelainan atau penyakit jiwa dicoba dipelajari dari segi biologi dan kelainan kimiawi di otak. Dengan penelitian yang mendalam, ahli psikiatri sekarang mempunyai banyak obat (zat kimia) yang dapat digunakan untuk mengobati kelainan dan penyakit jiwa. Maka untuk depresi berat dan skizofrenia, misalnya, terapi utama sekarang bukanlah psikoterapi dan psikoanalisis seperti yang dijalankan 150 tahun yang lalu oleh Sigmund Freud, melainkan dengan obat-obat modern, yang hanya boleh diresepkan oleh dokter, dan bukan oleh psikolog. Psikoterapi dapat dilakukan sebagai terapi pembantu, bukan terapi utama. Karena banyak psikiater malas melakukan psikoterapi yang memakan banyak waktu, aktivitas ini dilimpahkan ke psikolog.
Kehebatan obat-obat modern sekarang ini dapat dilihat dari contoh pasien saya ini. Dia dilaporkan marah-marah, merasa dihina tetangganya yang merasa tidak salah sama sekali. Dia membawa-bawa golok, mengancam akan membunuh tetangganya. Pasien dan keluarganya saya wawancarai;saya perkirakan dia menderita skizofrenia. Gila. Saya beri resep obat antigila. Tidak ada psikoterapi berlama-lama; tidak ada lagi tanya jawab mengenai latar belakang untuk mencari hal-hal bawah-sadar, tidak ada pertanyaan mengenai mimpi-mimpi dsb. Dia makan obat. Seminggu kemudian kembali ke saya. Sembuh. Normal. (Saya dokter umum, tapi di daerah itu belum ada psikiater).
Tapi dalam perjalanan karier saya, ada juga kasus ajaib. Menemui psikolog yang setengah gila. Dalam suatu kasus di pengadilan, psikolog seniortsb mengeluarkan pernyataan bahwa “dokter psikiater tidak boleh membuat diagnosis skizofrenia”Edan tenan… Dalam menangani pasien, berdasarkan Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Pasal 46 tentang Praktik Kedokteran, seorang dokter harus membuat rekam medis. Selanjutnya, berdasar Peraturan Menteri Kesehatan No.269 tahun 2008, Pasal 3, tentang Rekam Medis, ahli psikiatri diwajibkan untuk membuat dan menuliskan diagnosis pasien. Karena itu, pernyataan psikolog senior tadi menunjukkan dia ngawur sekali. Entah karena usia atau hal lain.
Dia juga menyatakan bahwa dia dapat mengenali seorang penderita skizofrenia hanya dengan lewat mencium baunya saja. Tambah edan… Dalam menentukan diagnosis penyakit jiwa, psikiater umumnya memakai pedoman “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” yang sering disingkat menjadi DSM dan sekarang terbitan edisi ke 4 sehingga sering disingkat menjadi DSM-IV. Dalam DSM-IV ini, terdapat kriteria untuk menentukan penyakit skizofrenia, namun tidak ada satupun kriteria yang menyebutkan bahwa seseorang dapat diketahui atau dibantu diagnosisnya lewat bau khusus di badan.
Adalah hak seorang psikolog untuk mengatakan merasa dapat mengenali pasien skizofrenia lewat persepsi hidungnya, namun ini tidak menjadikannya sah untuk dijadikan alat bukti, seperti halnya seseorang yang menyatakan mendapat wangsit dan dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang lain.
Kembali pada pertanyaan pertama, ke mana sebaiknya seseorang dibawa kalau dia menderita gangguan jiwa atau gangguan emosi? Tentukan dulu berat tidaknya gangguan tersebut dan apa penyebabnya. Gangguan yang berat, yang menyebabkan dia tidak bisa tidur, atau keluarga tidak bisa tidur nyenyak, misalnya, perlu segera dibawa ke psikiater. Gangguan yang ringan, yang penyebabnya jelas, misalnya sedih karena putus cinta, dapat dibawa ke psikolog untuk konseling. Tapi kalau telah beberapa kali ke psikolog dan pasien tidak membaik, bawa saja ke psikiater. Mungkin dia memerlukan obat. Bukan hanya omongan.
Lalu, bagaimana menentukan berat tidaknya suatu keadaan? Kalau kamu atau keluarga merasa terganggu, atau takut, atau kasihan, itu berat. Begitu saja kriterianya. Nanti akan kita bahas lagi di tulisan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H