Mohon tunggu...
E. Nugroho
E. Nugroho Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, ilmuwan, seniman, pengamat bahasa

Dokter, pengamat bahasa, pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guruku, Yap Hway Liem (Almarhum) yang Kukagumi: Terima kasih

26 November 2014   05:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tahun 1959, 55 tahun lalu, di Solo, kotaku. Di sekolah rakyat (SR) Kanisius 2, di Purbayan, aku mulai masuk kelas 6.Aku masih ingat guruku itu, guru kepala; badannya tegap, terlihat kekar, meski tidak besar, selalu dibalut hem, baju, yang seingatku selalu dilepas di luar (atau terbalik ya? Otakku dengan ‘massa kelabu’nya yang sudah berjalan jauh, ditambah rentang waktu dua generasi, membuat memori kadang error);bagi anak SR waktu itu dia sangat berwibawa, terlihat tinggi (meski belakangan waktu bertemu terakhir dia lebih pendek dariku).Sejak kelas 1 SR semua murid takut akan dia. Dia galak, kata teman-teman. Maka hari pertama, hari pertemuan resmi di dalam kelas sebagai murid dia, membikin hati ketar-ketir. Akan tetapi, hari itu juga yang membuat aku terheran-heran.

“Peraturan pertama,” kata dia, “kamu semua bebas. Bebas untuk ikut pelajaran, bebas untuk tidak ikut pelajaran atau keluar kelas. Tapi jangan ganggu temanmu di dalam kelas!” Hah…! Adakah guru zaman sekarang yang memakai prinsip ini? Prinsip “mempercayai murid”. Bahwa kita bertanggung jawab sepenuhnya akan diri kita, akan nasib kita, akan nilai rapor kita! Jangankan SD, mahasiswa saja sekarang diharuskan absen; harus mendengar, meski tidak dengar; harus melihat dosennya, meski mata melirik ke Blackberry di genggaman. Pendek kata, dengan prinsip itu, aku dan teman-teman benar-benar bebas; keluar kelas, keluar saja. Bosan? Mau kencing? Keluar saja. Tapi di luar tidak ada murid lain, sepi, bagai sepimya gurun di Afganistan. Jadi? Ya, masuk kelas lagi. Tidak ada yang berlama-lama di luar. Jadi peraturan bebas itu menghasilkan murid yang justru bertanggung jawab.

Sebagai guru kepala, dia juga sibuk oleh berbagai hal administrasi. Maka kadang murid dibebaskannya untuk melakukan apapun di kelas, tapi seingatku, tidak pernah terjadi kegaduhan di kelas. Entah bagaimana dia melakukannya. Padahal, berbeda dengan cerita yang aku dengar sebelum itu, dia sama sekali tidak pernah memukul murid (setidaknya, begitu ingatanku. Setidaknya, tidak memukul dengan emosi dan membuat murid menangis). Kalau ada surat yang harus dikirim ke yayasan, dia sering berteriak padaku dari kursinya yang sederhana di balik papan tulis. “Eh, anake Sarwo, iki kirim nyang yayasan”. (bahasa Jawa, Eh, anaknya Sarwo [dia sebut nama ayahku], ini kirim ke yayasan). Santai, tanpa basa-basi. Bahasa sehari-hari. Kantor Yayasan tidak jauh dari sekolah; sekitar 200 meter. Biasanya aku bersama satu murid lain pergi. Dan diapun meneruskan mengajar. Tidak bertanggung jawab? Tidak. Dia memilih murid yang diperkirakannya tidak akan tertinggal meski disuruh-suruh olehnya. Bagi murid itu sendiri, ini adalah pelajaran hidup; bahwa suatu sekolah itu berada di bawah badan pengawas lain, yang harus diberi laporan teratur; bahwa semua orang umumnya memiliki atasan.

Aku ingat lagi kalau dia kehabisan tembakau (pada zaman itu, merokok tidak menjadi masalah apapun, belum dipersoalkan sama sekali). Suaranya yang keras berdentang memecah keheningan kelas, “Eh, anake Sarwo, Macgillavry”. Dia meyuruhku membeli tembakau merek terkenal bikinan Afrika Selatan itu, plus kertas tipis untuk memilin rokoknya. Toko yang jual ini agak jauh, sekitar 300-400 meter. Dengan girang aku pun mengambil duitnya dan pergi melaksanakannya. Bebas dari pelajaran, kadang merupakan kegembiraan yang tak ternilai bagi anak SD.

Dengan cara mengajar yang seenaknya itu, apakah murid-muridnya jadi bodoh? Sebaliknya. Sekolah itu selalu berada pada tiga urutan teratas berdasar angka kelulusan. Dan ini selama bertahun-tahun.

Entah mengapa guruku ini, Yap Hway Liem, memberi kesan mendalam untukku. Dia memberiku bekal yang sangat berharga: nilai kebebasan. Juga, dengan tidak menunjukkan kekuatan fisiknya, serta kekuasaannya, untuk menghukum anak kecil, aku memperoleh bekal: kesetaraan; jangan pakai kekerasan dalam mengatur masyarakat. Nilai lain yang kudapat darinya: percaya diri.

Belakangan aku menyesal. Mengapa tidak kuucapkan hal di atas sewaktu dia masih hidup? Ucapan terima kasih. Tapi rasanya tidak ada kata terlambat. Sekarang pun tidak. Kuucapkan “terima kasih padamu”, guru yang mengilhamiku… Semoga anak atau keluarganya membaca tulisan ini dan mengetahui betapa berharganya dia bagi seseorang. Semoga guru-guru serta orang tua murid di sekolahku dulu ini juga mengenal salah satu cikal bakal pendiri sekolah itu.

Pada guru-guru di seluruh Indonesia... selamat Hari Guru. Kau tidak sekadar bekerja; kau membentuk jiwa seseorang. Seseorang akan selalu mengingatmu.

Baca juga: http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/14/gerakan-terima-kasih-guru-703156.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun