Mohon tunggu...
D. Nugroho Kusuma
D. Nugroho Kusuma Mohon Tunggu... -

Selalulah berbagi dengan sesamamu, termasuk ide dan pikiran-pikiranmu, dan ketika akhirnya kamu menemukan banyak perbedaan dalam cara berfikir dan ide, maka bersyukurlah karena itulah dunia, sangat beragam, terajut indah oleh warna-warni yang saling melengkapi dalam harmoni sebagai sesama, peace........

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekelumit Tentang "Freedom of Religion"

18 Juni 2011   10:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti yang telah menjadi kebiasaan, saya selalu mengawali hari-hari dengan membuka beberapa situs berita online di “handheld” saya, dan pada hari ini dari sekian banyak berita dan artikel yang saya baca, saya sangat menikmati tulisan Lucy Bushill Matthews di media online Republika, seorang “Muslimah Muallaf” yang berasal dari kota London. Dalam pandangan saya Lucy Bushill seperti memberikan pandangan dari sudut pandang yang tak pernah “terjamah” oleh saya, ketika ia membahas mengenai pandangan Islam terhadap kebebasan beragama. Ada beberapa sisi yang cukup sensitif yang tak pernah saya perhitungkan ketika banyak di antara kita selalu berbicara tentang “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Saya selalu memahaminya dari satu segi saja, tak pernah sekalipun saya membayangkan bagaimana jadinya bila kita pahami dari posisi yang berlainan. Pandangan Islam tentang kebebasan beragama sangatlah jelas, bahwa Islam tak pernah mempersoalkan keberadaan keyakinan lain diluar Islam sepanjang keyakinan yang berbeda tersebut bukan merupakan penyimpangan ajaran yang kemudian memakai label Islam. Namun dalam pandangan saya pandangan tentang hal tersebut selalu dipahami ketika kita harus berjalan seiring-sejalan dengan saudara-saudara kita yang dari awal memang berbeda keyakinan. Semua persoalan menyangkut keberadaan komunitas Islam dengan komunitas non Islam selalu bisa saya pahami sebagai hal yang wajar dan alamiah dengan batas-batas yang jelas dari awalnya. Namun persoalannya menjadi lain ketika kita dihadapkan pada sumirnya batas-batas tersebut, karena pada kenyataannya selalu saja terdapat perubahan “member” komunitas agama, baik dari sisi Islam maupun dari sisi agama-agama lain. Saya merasakan ketidaksiapan ketika saya membayangkan seseorang yang saya kenal dengan baik bahkan cukup dekat kemudian harus memilih keluar dari komunitas Islam, meskipun kemudian saya tidak akan bersikap sangat ekstrim atas realitas tersebut, namun minimal ada suatu kegamangan emosional ketika mencoba kembali memahami prinsip “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Islam adalah agama yang selalu memberikan ujian kepada umatnya, paling tidak itulah yang saya rasakan sebagai muslim sejak lahir, bahkan setiap musibah yang saya alami selalu saya pandang sebagai ujian dari Allah. Begitupun dengan fenomena ini, saya mulai menyakini bahwa “perbedaan agama” dalam pandangan Islam sebenarnya adalah ujian kepada kita sebagai umat Islam, ujian dari segala sisi termasuk mampukah kita memahami “perbedaan agama” dengan utuh dan ikhlas. Sayapun teringat pada cerita seorang kawan, tentang seorang tukang kebun di salah satu Kantor Kelurahan di daerah Lampung yang harus mendapatkan tamparan bertubi-tubi dari Sang Lurah karena si tukang kebun memilih keluar dari Islam dan memeluk agama lain, dan hal yang serupa pun diceritakan oleh Lucy Bushill ketika seorang remaja di AS bernama Rafigah Barry yang lebih memilih agama lain selain Islam dan kemudian kabur dari rumah orangtuanya yang muslim. Ia kemudian menyatakan akan dibunuh jika kembali ke rumahnya. Memang adalah suatu kewajiban untuk setiap muslim beramar ma’ruf nahi munkar, tapi kalau sampai melakukan kekerasan fisik dan mengintimidasi dengan ekstrim, saya pikir adalah sesuatu yang sangat berlebihan, bahkan bisa menjadi reklame yang sangat buruk tentang Islam bagi umat beragama yang lain. Menurut pandangan saya, reaksi yang demikian tersebut bukanlah konswekuensi dari pandangan Islam tentang perbedaan agama, saya melihat hal-hal emosional dari sisi internal mereka yang menciptakan reaksi yang demikian ekstrim tersebut, bisa jadi karena konswekuensi dari adat istiadat suku bangsa tertentu, masalah harga diri dan nama baik keluarga maupun fanatisme buta yang terlampau dominan. Bukanlah hal mudah untuk mengendalikan hati dan emosi pada saat kita dihadapkan pada persoalan yang seperti demikian tersebut, namun menurut saya itulah ujian dari Islam, kita harus memahami perbedaan agama tersebut dengan utuh dan ikhlas. Lebih bijak apabila kita berusaha untuk tidak “pikun” bahwa sesungguhnya keberagaman di dunia ini adalah hal yang alamiah, meskipun masih terdapat beberapa pihak dari kalangan muslim yang tetap memilih bersikap sangat ekstrim ketika dihadapkan pada suatu perbedaan dan keberagaman, Dalam koridor hubungan horizontal persoalannya makin menjadi pelik ketika komunitas-komunitas selain Islam cenderung bersikap “prejudice” atas kesungguhan Islam pada keyakinan bahwa sejatinya keberagaman adalah fitrah dari dunia ini. Dalam konteks persoalan tersebut mungkin perlu untuk diingat kembali tentang kisah Ubaydallah ibn Jahsh salah seorang muslim pada zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang kemudian memilih keluar dari Islam dan memeluk agama Kristen. Mungkin sebagaian dari kita dan banyak kalangan dari berbagai komunitas, akan membayangkan hal yang buruk terjadi pada Ubaydallah ibn Jahsh, namun sejarah mencatat dengan leluasa Ubaydallah terus melanjutkan kehidupan dengan agama barunya tersebut ditengah-tengah kaum muslim tanpa mendapatkan gangguan dan intimidasi hingga akhir hayatnya. Kisah tersebut adalah salah satu dari sekian banyak kisah yang memberikan bukti untuk diingat dan dipahami, bahwa ternyata dalam tataran realitas sosial pada masa-masa awal Islam diperkenalkan, perbedaan agama dan keberagaman menjadi realitas “duniawi” yang diterima oleh Islam dan umatnya. Saya pikir Islam sangatlah moderat ketika dihadapkan pada suatu perbedaan dan keberagaman, khususnya terhadap banyaknya keyakinan yang dianut selain Islam. Terdapat batas-batas tertentu atas toleransi tersebut, namun demikian batas-batas tersebut tak pernah sedikitpun membatasi kebebasan seseorang untuk memilih keyakinannya, Islam memberikan batasan yang jelas dalam hal ini, mana yang menjadi urusan manusia, mana yang menjadi urusan Allah, dan selayaknya kita memang harus mampu menerima terhadap apa yang disebut sebagai “freedom of religion”, tidak saja ketika seseorang yang pada awalnya bukan Islam kemudian menjadi seorang “muallaf”, akan tetapi kita pun harus sepenuhnya ikhlas justru ketika seseorang yang awalnya seorang muslim akhirnya memilih untuk meyakini agama lain selain Islam. Bukan menjadi suatu kewajiban untuk bersusah payah memaksakan kehendak agar orang-orang yang ada disekitar kita tetap menjadi Islam, kewajiban kita hanyalah beramar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan batas kemampuan kita, yang dalam konteks ini bukanlah dengan kekerasan dan paksaan, tetapi dengan mengamalkan Islam dengan benar, memperbanyak infaq dan sedekah, memberikan tauladan yang baik, saling bersilaturahmi, saling menguatkan iman dan tentunya saling mendoakan, dan selebihnya adalah menjadi pertanggung jawaban kita masing-masing kelak ketika kita dihisab di hadapan Allah, termasuk apa yang menjadi pilihan kita saat ini. Sesungguhnya indahnya warna-warni keberagaman adalah salah satu ciptaan Allah, Allah lah yang menghendaki keberagaman. Jadi apa pentingnya kita bersikap ekstrim dan bereaksi berlebihan terhadap pilihan seseorang untuk meyakini agamanya, karena apabila “keseragaman” adalah yang terbaik, maka niscaya Allah akan mewujudkannya dengan semudah membalikkan tangan, “Jika telah menjadi kehendak Tuhanmu bahwa semua orang di dunia harus beriman, maka semua orang di bumi akan beriman !” (10:99). Pada akhirnya memang selalu sulit membayangkan jika dunia ini seragam, adalah hal yang mustahil untuk memikirkan hal tersebut sebagai realita, tidakkah dirasa sangat ganjil jika di dunia ini hanya memiliki satu warna, hanya terdapat satu ras, atau hanya ada satu keyakinan, dan di sisi yang lain tidak pernah bisa menjadi sebuah pembenaran bahwa keberagaman adalah sumber kekacauan dan perpecahan. Saya pernah melihat kegalauan seorang teman, dalam status di facebook ia menuliskan, “Pool of the week : Do you think religion causes more division than unity ?”, namun atas kegalauan sang kawan tersebut dan dengan bahasa inggris yang ngawur, saya akan cenderung memilih kalimat, “There’s no religion causes more division, but only our prejudice can do realize it”. NB : Lucy Bushill Matthews adalah seorang Muallaf, disela-sela kesibukannya sebagai seorang ibu dari 3 anak, beliau juga seorang penulis, beberapa tulisannya telah dibukukan yang salah satu diantaranya adalah “Wellcome to Islam – a Convert’s Tale. Saat sekarang beliau mengelola beberapa madrasah di Inggris.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun