Mohon tunggu...
nugroho bin karnadi
nugroho bin karnadi Mohon Tunggu... -

Lahir 7 Nopember 1975. Kini dianugerahi dua anak. Suka geram, dan trenyuh jika ada salah tapi kaprah, dan yang bener jadi tidak lumrah. Semua uneg-uneg tertulis di http://jangkrik-ngerik.blogspot.com/. Pernah kerja di SMK swasta di Kota Banjarnegara, dengan status dan gaji TU, melaksanakan tanggung jawab guru. Lalu memutuskan berhenti jadi guru, karena ingin jadi "guru".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Garam, Oh Garam

31 Juli 2017   06:18 Diperbarui: 4 Agustus 2017   09:42 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inilah garam termahal yang pernah saya beli. Selasa 25 Juli 2017 saya beli garam seharga 9.000 rupiah. Tiga bulan sebelumnya, saya bisa mendapatkan garam itu di warung yang sama dengan harga paling mahal 3.500 rupiah. Sekilas, untuk keluarga kecil macam keluarga saya, sebungkus garam berisi 12 balok dengan berat kurang lebih 900 gram itu cukup untuk konsumsi dua sampai tiga bulan. Tapi kalau mengingat kegemaran keluarga saya pada ikan asin, telur asin ,dan tahu pong, wah... siap-siap saja mengurangi porsi belanja ketiga makanan itu. Dan itu pun terjadi juga.

Mahalnya harga garam mungkin karena faktor perilaku cuaca di lahan produksi yang tidak bisa ditebak oleh petani garam. Petani garam sangat mengandalkan terik matahari, namun bisa tanpa permisi langit berkeringat, sekejap mencipratkan hujan, bahkan bisa saja menangis, meneteskan hujan lebih lama. Jadi wajar kalau proses produksi jadi tersendat. Ini irama dunia. Tidak perlu menyalahkan cuaca, apalagi menyalahkan penciptanya.

Gamar reaksi garam, klik saja di sini.

Gambar di atas melambungkan ingatan saya ke belakang ketika praktikum kimia jaman SMA. Guru kimia menugasi kami mencampurkan larutan HCl (Asam klorida) dan larutan NaOH (Natrium Hidroksida). Larutan tersebut kemudian dipanaskan menggunakan bunsen. Hasilnya, berupa endapan yang rasanya asin, persis garam. Jika digabungkan cara menghasilkan garam ala petani dan anak SMA, didapatkanlah kesimpulan bahwa proses penguapan (evaporasi) dibutuhkan untuk menghasilkan garam.

Kesimpulan cengceremen di atas menggiring saya pada sebuah ide "Bagaimana menerapkan kaidah-kaidah evaporasi untuk membuat lahan garam skala rumah tangga di daerah pesisir". Ide ini pasti bukan ide luar biasa, tapi semoga masih bisa dianggap sebagai ide di luar kebiasaan, sukur-sukur kalau bisa ide gila. Mengapa ingin dianggap ide gila, cuma ingin ngetes apakah ide ini selaras dengan meme ini.

Tentu saja, air laut sumber garam perlu memenuhi kriteria-kriteria seperti diulas di situs www.bppp-tegal.com
Mulailah saya riset di negeri google provinsi youtube. Saya dapat video-video ini. Hoax atau bukan, tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah ini bisa jadi bahan eksperimen pribadi. Sengaja pencarian saya lakukan menggunakan keyword. Bukan kata kunci. Soalnya kalau pakai kata kunci, pasti dapatnya cuma ngeplak jidat sambil "nyupatani" alias mengutuk kreatornya.

Keyword pertama adalah "homemade salt production". Sekedar ingin tahu, bisakah garam dibuat di rumah? Setelah memilah-milah dan menelusur didapatlah video-video berikut:

Judul: home made sea salt. Link

dan

Judul: *boil ocean water. Link

Waduh... walaupun bisa bikin garam di rumah, tapi kalau masih harus pakai produk pertamina, atau PLN sebagai sumber panas, jelas bukan solusi tepat. Tahu sendiri, tarif mereka bisa berubah tanpa permisi. Lalu dari mana sumber  panasnya? Teringat saya pada teknologi rekaan almarhum pak Minto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun