Tentunya kita sudah tidak asing lagi mendengar lirik lagu kolam susu dari salah satu group band lawas indonesia, Koes Plus. “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu”… Sebait lirik lagu tersebut sudah sangat cukup menggambarkan kondisi alam Indonesia. Negara kepulauan terbesar di dunia ini di beri karunia yang luar biasa dari Tuhan. Kekayaan alam yang melimpah, tanah yang subur luar biasa, dan keanekaragaman flora dan fauna yang cukup membuat mata terbelalak.
Belum lagi jika kita bicara ragam budaya yang ada di Indonesia. Dari ujung sabang sapai sudut merauke mempunyai budaya sendiri-sendiri, ikut serta memeriahkan keanekaragaman bangsa ini. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (Unram), Nurachman Hanafi mengatakan bahwa, terhitung oktober 2012 Indonesia memiliki750 bahasa daerah sebagai bahasa leluhur, dan masih mempunyai kemungkinan bertambah lagi.[1] Hari ini, di muka Bumi, ada 7000 macam bahasa yang terseberar di tiap-tiap negara. Artinya mengacu pada data yang di paparkan tersebut, Indonesia mempunyai 10% dari total bahasa yang ada di dunia. Sungguh mengagumkan, sebuah anugerah yang wajib disyukuri oleh seluruh bangsa indonesia. Lebih jauh mengagumkan ketika kita melihat dengan perbedaan bahasa yang begitu banyak, sampai hari ini indonesia masih tetap satu, satu Indonesia.
Akan tetapi negeri indah ini bukanlah tanpa masalah. Korupsi yang mengakar, kesenjangan sosial, buruknya pendidikan untuk anak bangsa, kerusakan lingkungan yang tak terkendali, luka moral yang tak kunjung sembuh dan sederetan masalah-masalah lain yang membuat negeri ini menjadi paradoks. Negara yang dipandang oleh dunia luar sebagai Negara dengan kekayaan alam yang mengesankan, akan tetapi dalam tubuh Negara tersebut mengecam banyaknya kelemahan bahkan menuju kegagalan. Paradoks Indonesia!
Pertanyaan selanjutnya adalah, harus memulai darimana kita untuk menyelesaikan masalah yang sedemikian rumit ini. Sebuah penyakit komplikasi kronis yang di alami Negara berkembang. Penulis mencoba mengkrucutkan masalah-masalah di atas pada satu masalah paling penting dan paling pertama dibenahi. Bagi penulis, inti dari komplikasi kronis ini adalah krisis kepemimpinan. Yang di maksud tidak hanya kepada pemimpin tampuk tertinggi Negara dalam hal ini Presiden, tapi pemimpin-pemimpin di seluruh lini di Indonesia, termasuk diri sendiri.
Hari ini kepemimpinan Bangsa ini di dominasi oleh orang-orang tua. Asumsi yang beredar memang, kematangan dalam berfikir dan bertindak ada di generasi tua. Katakanlah asumsi tersebut benar, tetapi hal ini menjadi tak berarti apa-apa ketika mereka hanyalah sekelompok orang paruh baya yang di tumpangi oleh banyak muatan-muatan kepentingan. Pada zaman orde baru Dominasi mereka tahun ketahun semakin kuat. Sehingga menegasikan anak-anak muda untuk masuk dalam kancah perpolitikan nasional. Sistem yang semakin kokoh, kerusakan dimana-mana, dan perlu kekuatan besar untuk menghancurkan hal tersebut.
Untuk menjadi pemimpin bangsa, memanglah harus mengalami proses berpolitik. Menurut Ramlan Surbakti, politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses dan pembuatan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.[2] Bila kemudian kita memperhatikan definisi tersebut, secara sederhana adalah penjembatan antara kepentingan bersama masyarakat dengan penguasa, yang kemudian hal tersebut di tuangkan dalam suatu keputusan atau kebijakan. Perlu di tekankan lagi, dalam definisi tersebut tidak sedikitpun dibicarakan skala usia. Sehingga salah jika kemudan anak muda bangsa ini ternegasikan dalam panggung politik di Indonesia. Bahkan konstitusi Negara ini menjami adanya kemerdekaan berpendapat.[3]
Kita pernah mengalami masa-masa dimana anak-anak muda bangsa yang mengambil peran. Mari sedikit melihat ke belakang, Negeri ini di konsep dan di perjuangkan oleh anak-anak muda. Sebagai contoh, Pada tahun 1925, Tan Malaka menerbitkan buku "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia) yang berisi konsep tentang negara Indonesia yang tengah diperjuangkan.[4] Buku tersebut ditulisnya di umur yang masih tergolong muda, 27 tahun. Tulisan Tan Malaka tersebut mengilhami pleidoi Mohammad Hatta didepan pengadilan Belanda di Den Haag yang berjudul "Indonesia Vrije" (Indonesia Merdeka) (1928) atau tulisan Soekarno yang berjudul "Menuju Indonesia Merdeka" (1933). Tidak hanya itu, anak-anak muda bangsa juga berjuang lewat medan pertempuran. Lantas apa hasil maksimal dari perjuangan anak-anak muda tersebut? adalah kemerdekaan Indonesia!
Berbicara tentang kepemimpinan anak muda, Tercatat dalam sejarah Republik ini, Soekarnolah yang memengang predikat Presiden termuda. Beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada umur 44 tahun, dan di damping oleh Hatta yang pada saat itu berumur 43 tahun. Melihat sepak terjang keduanya, tidak bisa di pungkiri beliaulah yang paling menunjukan Nasionalisme yang tinggi. Negeri ini menemukan taringnya di bawah kepemimpinanya.
Dari sisi psikologis, Menurut Piaget pemikiran orang di umur 20 tahun ke atas pada umumnya lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwadi rentang usia tersebut, merekaterdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.[5] Bukankah ini merupakan bukti yang baik untuk generasi muda yang kembali menggambil peran pada panggung politik. Setidaknya idealisme generasi muda masih dalam koridor.
Seperti yang telah sedikit di singgung di atas, kondisi di indonesia agaknya ‘mengharamkan’ generasi muda dalam berpolitik. Pun jikalau ada anak muda yang namanya mencuat di panggung politik, besar kemungkinan anak muda tersebut terlibat dalam proses nepotisme. Bagaimanapun buruknya, beginilah kondisi kekinian di negeri subur ini. Suara mereka hanya terdengar di kampus-kampus, ruang-ruang diskusi, atau bahkan berkumandang di jalan. Lantas apa setelah itu? Suara mereka hilang, berbisikpun tak terdengar. Di masa kekinian, tak pernah suara generasi muda ikut andil dalam setiap keputusan-keputusan Negara. Padahal anak-anak muda bangsa ini bukanlah tanpa potensi. Akan sampai kapan kondisi ini terus berlangsung?
Minimnya keikutsertaan anak muda dalam panggung politik di Indonesia, tidak pula terlepas dari minimnya cost politic yang di miliki oleh anak-anak muda. Perpolitikan di negeri ini begitu mahal dan transaksional. Detik.com merilis bertita bahwa dana Kampanye SBY-Boediono di pilpres 2009 yang di laporkan ke KPU sebesar Rp 20.300.010.000.[6] Dana terbesar diantara pasangan calon presiden dan wakil presiden pada saat itu. Mari kita berfikir positif, dalam artian hanya itu dana yang di gunakan SBY untuk maju di pilpres 2009, tidak ada dana-dana liar lainya yang beredar.Agaknya harga mahal tersebut kurang rasional ketika berasal dari kantong SBY-Boediono sendiri. Sedangkan Harta kedua orang tersebut yang di laporkan ke KPK tidak sebanyak itu. Otomatis dana tersebut adalah dana yang di himpun dari barisan-barisan pendukung sang calon. Kemudian apa yang terjadi ketika sang calon terpilih? kebijakan yang di keluarkan didasari oleh kepentingan-kepentingan barisan pendukung. Disinilah letak transaksionalnya.
Mengingat mahalnya harga tersebut, sulit mendapatkan anak muda yang mempunyai harta yang sebanyak itu. Orang pun akan berfikir beratus kali ketika ingin menyokong dana ketika figur yang dimajukan adalah anak muda. Sekalipun seorang anak muda yang cukup matang dalam berfikir dan bertindak, tapi harga mahal ini menjadi satu syarat pasti di negeri ini. Hal ini tidak hanya terjadi pada pasar pertarungan di kepemimpinan nasional. Demokrasi mahal ini telah menyusup dan menyebar keseluruh penjuru negeri. Kondisi ini membuat tertutup rapatnya pintu demokrasi untuk anak-anak muda. Effek langsungnya harus di bayar mahal, dari hari ke hari anak muda bangsa ini semakin antipati terhadap negerinya.
Seharusnya tidak perlu ada lagi keraguan yang begitu besar ketika anak muda terjun ke dunia politik. Sudah banyak contoh di belakan bagaimana idealisme anak muda bangsa ini berbuah hasil. Tidak hanya Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan sekelompok pendiri bangsa lainya. Tahun 1966 perjuangan anak muda berhasil menurunkan Rezim Soekarno yang pada saat itu dinilai sudah tidak sehat lagi. 1998 anak muda bangsa inipun berhasil menghancurkan tembok tirani Soharto, yang akrap di kenal reformasi. Bukankah hal tersebut proses berpolitik pula? Yang mereka hancurkan adalah sistem kuat yang telah di bangun generasi tua. Hal tersebut menggambarkan Anak-anak muda bangsa berhasil merealisasikan apa yang di inginkan oleh masyarakat.
Telah di paparkan dari sisi Psikologis anak muda pada umumnya mempunyai idealisme yang kuat. Sehingga di anggap lebih kuat untuk termakan dalam sistem. Telah juga di ceritakan di atas romantisme anak muda masa lalu mengonsep dan memperjuangkan kemerdekaan. Maka saatnyalah anak muda yang memimpin, atau paling tidak suara mereka di pertimbangkan dalam setiap keputusan-keputusan pemerintah. Hanya masalahnya mahalnya cost politic dan Public trust kepada anak muda yang harus kita perjuangkan. Tetapi ini bukan berarti tidak bisa di perjuangkan. Konsistensi dalam menjaga idealisme dan persatuan yang kokoh menjadi kunci kembalinya negeri ini kepada anak muda lagi. Anak-anak muda bisa merebut lagi hati masyarakat. Kehidupan berdemokrasi di negeri ini butuh pemikiran-pemikiran segar insan muda.Dan dengan izin Tuhan YME, Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik dan baik lagi…
[1] http://elmosamanta.blogspot.com/2012/12/anak-anak-bangsa-ini-lupa-bahwa-mereka.html#more diakses pada tanggal 8 Februari 2013 pukul 14.51
[2] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politi , Widia Sarana Indonesia,Jakarta, 1999,hlm.1
[3] Lihat kembali Pasal 28 tentang Hak asasi manusia di UUD1445
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka, di akses pada tanggal 17 Februari, Pukul 00.18 WIB
[5] Santrock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta,2003,hlm.110
[6] http://news.detik.com/read/2009/06/02/144939/1141436/700/dana-kampanye-pilpres-sby-boediono-terbesar-jk-wiranto-terkecil di akses pada tanggal 17 Februari 2013 Pukul 16.43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H