Tidak terasa sebentar lagi sudah memasuki tahun 2021. Saya sendiri merasa bahwa bulan Maret seperti baru kemarin saja. Oh iya, saya sendiri beberapa waktu lalu sempat membaca berita bahwa pada tahun ajaran semester genap tahun 2020/2021 (yaitu mulai Januari 2021) sekolah-sekolah di Indonesia sudah boleh melaksanakan kegiatan pembelajaran tatap muka, meskipun dengan beberapa syarat tertentu.Â
"Loh tapi kan belum vaksin dan semacamnya, bagaimana kalau nanti malah menulari dan sebagainya?" Saya paham akan pendapat seperti itu, namun di sisi lain, perlu juga disadari bahwa tidak semua orang memiliki privilege seperti akses internet yang mudah, rumah yang nyaman, dan semacamnya.
Selain faktor tadi, kondisi mental dari pelajar juga mungkin menjadi pertimbangan lain. Nyaris setahun hanya di rumah saja dan melakukan pembelajaran secara daring mungkin menjadi sebuah beban tersendiri bagi siswa-siswa (meskipun ada orang seperti saya yang tidak keberatan sama sekali jika kebijakan pembelajaran daring diperpanjang).Â
Jadi, menurut saya, dengan penerapan protokol kesehatan yang tepat dan ketat, tidak akan masalah jika pembelajaran tatap muka dibuka. Toh, kebanyakan orang yang protes akan kebijakan social distancing ini adalah orang yang nyaris setiap hari keluar dan kumpul bersama temannya di sebuah cafe mahal di kotanya masing-masing. Nah, tentang kesehatan mental sendiri, apakah benar dengan dibukanya sekolah ini akan berdampak baik ke kesehatan mental pelajarnya?
Bagaimana tanda dari kesehatan emosional manusia? Nah, di antara tanda-tanda kesehatan emosional dan mental manusia, diantaranya adalah memiliki konsistensi emosional, bisa menghargai dirinya sendiri, dan kepercayaan diri akan kompetensi individu di suatu bidang. Karimi (2001) menjelaskan bahwa hal yang memotivasi manusia bukanlah rangsangan dari luar saja tetapi emosi yang ada di dalam. Jadi, kesehatan mental ini sangat penting untuk perkembangan siswa kedepannya baik sebagai pelajar maupun sebagai manusia.
Berangkat dari hal itu. mari kita tengok dulu sekolah, sebagai salah satu aktor penentu dari kesehatan mental pelajar. Saya ingin menggunakan pengalaman dan sudut pandang saya disini. Saya memiliki pengalaman sekolah yang bisa dikatakan bertolak belakang sekali, yaitu sewaktu saya SMP dan SMA.Â
Beberapa hal yang saya rasakan di SMP yang tidak saya rasakan di SMA adalah guru yang dekat dengan siswa dan  aktif dalam pembelajaran mereka, sistem sekolah yang memperbolehkan siswa  mendalami bakat dan minat mereka, lingkungan yang sejuk dan nyaman untuk belajar, bahkan sampai sistem moving class (yang menurut saya benar-benar membantu saya agar tidak bosan selama pelajaran) tersedia disana.
Nah, ketika SMA, saya tidak mendapatkan hal-hal itu. Saya sebagai siswa tidak diberikan banyak kebebasan dalam berekspresi, bahkan hanya sekedar menggunakan rumus baru saja saya sering disalahkan. Oh, juga tentang hukuman. Saya tidak ada masalah sama sekali dengan sistem hukuman, karena menurut saya jika kita sebagai pelajar sudah sangat susah untuk diberi tahu, hukuman adalah salah satu jalan alternatif yang mendidik.Â
Namun itu berbeda dengan hukuman yang bukannya mendidik malah mempermalukan siswa di muka umum. Saya ingat sekali, ketika saya SMA, jikalau ada siswa yang sedikit saja berselisih pendapat dengan guru, maka akan disuruh untuk sujud didepan guru itu. Mungkin ada alasan dibalik kenapa hukuman itu diberlakukan, namun saya masih belum bisa menemukannya. Saya yakin banyak sekali hukuman tidak masuk akal di tempat lain yang malah berdampak buruk ke siswanya, terutama dari segi mental.
Saya sendiri kemudian berusaha mencari data tentang angka bunuh diri remaja di Indonesia, namun hasilnya nihil. Namun, saya menemukan sebuah artikel berjudul "Suicidal Ideation and Suicide Attempt Among Indonesian Adolescent Students" yang yang menyebutkan bahwa 4,75% sampel remaja yang diteliti memiliki pikiran untuk bunuh diri dan sekitar 2,46% melakukan percobaan untuk bunuh diri.Â