Mohon tunggu...
Loner
Loner Mohon Tunggu... -

INFP, saya suka berpikir dan seni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita?

9 September 2016   20:11 Diperbarui: 9 September 2016   20:15 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pekan yang lalu, Indonesia diramaikan dengan isu full day school yang diwacanakan oleh menteri pendidikan yang baru, Bapak Muhadjir Effendy. Full day school sendiri adalah sistem belajar dimana siswa belajar di sekolah sampai sore hari. Tujuannya pun sebenarnya bagus, yaitu agar siswa tidak pergi keluyuran tidak jelas setelah pulang sekolah, dan memanfaatkan waktunya untuk belajar di sekolah sampai sore sehingga memaksimalkan waktu belajar dan bisa pulang dijemput oleh orang tuanya, karena kebanyakan pekerja kantoran kota pulang pada pukul lima sore. Karena menimbulkan pro dan kontra, akhirnya isu tersebut dibatalkan.

Namun beberapa hari yang lalu Bapak Muhadjir kembali mewacanakan sistem full day school yang mana digabung dengan sistem lima hari sekolah secara nasional, sehigga full day school dijadikan kompensasi lima hari sekolah, di mana hari sabtu dijadikan hari libur nasional. Tentu sistem seperti ini memiliki sisi negati dan sisi positifnya. 

Seperti yang sudah dijelaskan Bapak Muhadjir, tujuan dari sistem full day school plus lima hari sekolah adalah salah satunya agar siswa menjadi lebih terkontrol karena tetap berada di sekolah dibandingkan jika sekolah hanya sampai siang saja. Selain itu, kegiatan sekolah sampai sore tersebut diisi dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler non akademik, di mana siswa akan dilatih dan ditanamkan berbagai sifat kepemimpinan, sehingga meningkatkan akhlak dan perilaku siswa itu sendiri. Tentu saja tujuan seperti ini sangat baik dan mulia. Namun sistem seperti ini juga memiliki beberapa dampak negatif.

Orang cerdas dan bijak adalah orang yang dapat menyederhanakan persolan rumit. Sejak awal pendidikan di Indonesia sudah rumit. Dimulai dengan jumlah mapel di luar batas kemampuan rata-rata manusia yaitu 14-20 mapel, pendidikan di Indonesia akan semakin rumit dan berat jika sistem full day school dan sekolah lima hari diberlakukan. Dengan jumlah mapel yang terlampau banyak tersebut, tentu saja siswa harus memiliki waktu luang untuk mengulang kembali mapel-mapel tersebut.

Dengan adanya sistem full day school dan lima hari sekolah, tentu siswa saat tiba di rumah sudah merasa letih, sehingga tidak mampu lagi untuk mengulang pelajaran dari sekolah. Karena terlalu capek, siswa akan langsung istirahat, dan tentu saat istirahat kebanyakan siswa akan melakukan kegiatan yang tidak memberatkan otak, misal bermain gadget sambil membuka sosmed. Akhirnya siswa tidak belajar dan hal seperti itu terus berulang. Karena tidak pernah belajar, maka prestasi siswa pun akan menurun.

Mungkin ada yang bilang, "kan bisa ikut bimbel?". Barangkali bimbel membantu, namun yang lebih membantu adalah proses belajar mandiri itu sendiri, karena saat belajar mandiri, siswa akan berfikir, mengingat-ngingat segala hal yang pernah ia peroleh dan mensintesisnya untuk menjadi pengetahuan baru yang lebih melekat kuat di otak.

Karena pengalaman saya sebagai guru bimbel, yang membuat seseorang pintar adalah bukan sebarapa rajin siswa ikut les, namun seberapa mau dia ikut berfikir, dan salah satunya dengan belajar mandiri di rumah. Dan karena pada sore hari siswa tidak sempat ikut bimbel, akhirnya hari sabtu dan minggu digunakan untuk ikut les. Hari yang awalnya ditujukan untuk berkumpul bersama keluarga akhirnya malah tidak terwujud.

Selain itu, kebijakan full day school dan lima hari sekolah barangkali hanya cocok jika diterapkan di daerah perkotaan, dimana sebagian besar orang tua siswa adalah pekerja kantoran yang pulang pada sore hari. Namun nyatanya tidak semua orang tua siswa demikian.

Banyak sekali siswa di Indonesia yang seusai sekolah pada siang hari tidak keluyuran, melainkan melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti membantu orang tua mereka bekerja, mengajar di TPQ, ikut mengaji di sore hari, dll. Biasanya kegiatan seperti itu banyak terjadi di daerah pedesaan. Jika full day school diberlakukan, maka kegiatan-kegiatan seperti itu akan terhambat. Dan bukankah kegiatan-kegiatan seperti itu malah lebih efektif dalam menanamkan karakter kepemimpinan dibadingkan belajar di sekolah saja? Karena belajar tidak hanya di sekolah, di manapun kita dapat belajar. Dan banyak pula pelajaran yang tidak dapat kita dapatkan dari sekolah namun hanya dapat kita dapatkan dari kegiatan-kegiatan di atas. 

Sepertinya persoalan pendidikan di Indonesia semakin carut marut saja. Setiap ganti menteri, setiap itu pula ganti kebijakan. Akibatnya pendidikan di Indonesia tidak memiliki konsistensi ke arah progresif. Pendidikan di Indonesia ibarat jalan di tempat: maju kedepan, dan mengulang dari awal saat ganti menteri, dan begitu seterusnya. Hal ini menandakan bahwa si pembuat kebijakan tidak memiliki pandangan yang visioner.

Terlalu seringnya pergantian sistem dan kurikulum pendidikan barangkali menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia belum dewasa dan mampu dalam merumuskan pendidikannya sendiri. Bangsa Indonesia harus memiliki harga diri. Jangan setiap menteri saat pulang dari studi banding di luar negeri kemudian mengganti sistem pendidikan yang telah ada, karena mapel di Indonesia dan di luar negeri berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun