Mohon tunggu...
Loner
Loner Mohon Tunggu... -

INFP, saya suka berpikir dan seni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita?

9 September 2016   20:11 Diperbarui: 9 September 2016   20:15 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.gresnews.com

Misal di Amerika hanya terdapat lima mapel, sehingga metode pembelajaran yang diterapkan yaitu murid lebih aktif belajar dan berfikir, sedangkan guru sebagai fasilitator. Tentu metode seperti itu tepat jika mapelnya hanya lima, karena siswa memiliki waktu yang banyak untuk memikirkan secara aktif tiap-tiap mapel. Namun di Indonesia yang jumlah mapelnya terlalu banyak tidak akan berjalan jika diberlakukan sistem seperti itu.

Yang ada malah siswa akhirnya lari ke tempat les karena siswa kurang memperoleh penjelasan yang memuaskan, dan metode tersebut gagal diterapkan. Akan tetapi, jumlah mapel yang terlalu banyak tidak dapat disalahkan, karena Indonesia adalah negara yang sangat majemuk dari segi budayanya, sehingga siswa perlu juga mendapat waawasan seperti Sejarah, PKN, Geografi, Bahasa Daerah, Agama, dll, yang mana pada negara liberal seperti Amerika pelajaran seperti itu tidak wajib.

Karena sudah terlanjur menerapkan terlalu banyak mapel, maka tugas guru adalah menjelaskan sejelas-jelasnya setiap mapel, dan setelah siswa benar-benar paham, siswa diberi tugas yang tidak hanya mengandalkan hafalan, namun mengandalkan logika dan pemahaman, sehingga siswa terangsang untuk berfikir secara mendalam. Dengan demikian, siswa tetap menjadi siswa yang aktif berfikir mandiri walaupun jumlah mapel yang sangat banyak. 

Selain itu terlalu seringnya pergantian sistem dan kurikulum tentu sangat menghabiskan dana, seperti biaya untuk sosialisasi, rapat, percetakan buku baru, dll. Uang milyaran rupiah dan tenaga tersebut akan lebih baik jika dialokasikan untuk hal lain, misal pembangunan fasilitas pendidikan di daerah 3T, karena kita tahu bahwa selama ini kebanyakan sekolah yang memperoleh dana adalah sekolah top di kota, sehingga kesenjangan pendidikan di kota dan desa, khususnya daerah 3T, semakin melebar. Selain itu dana tersebut juga lebih baik untuk peningkatan kesejahteraan guru honorer yang antara gaji dan jam kerja nya tidak sepadan. Dan masih banyak lagi segi-segi pendidikan yang lebih utama mendapatkan bantuan dana daripada hanya ganti kurikulum.

Haruslah ada sebuah perombakan paradigma pendidikan secara mendasar. Kita harus memahami betul, apa itu pendidikan, apa tujuannya, apa output yang diharapkan, dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar tujuan tersebut tercapai. Singkatnya, pendidikan harus memiliki visi dan misi yang jelas dan konsisten. Setiap menteri pendidikan pasti memiliki visi dan misi yang jelas, namun sayangnya mereka memiliki langkah-langkah yang berbeda, sehingga pergantian sistem dan kurikulum sering terjadi.

Maka barangkali haruslah diadakan diskusi bersama, di mana mantan dan menteri pendidikan, guru, pakar pendidikan, kebudayaan, pakar setiap mapel, dan pakar-pakar yang lain, membahas bagaimana pendidikan Indonesia kedepanya, bagaimana metodenya, bagaimana kurikulumnya, bagaimana sistemnya, dll, agar grand design pendidikan Indonesia bersifat visioner, sehingga pendidikan di Indonesia akan semakin progresif dan tidak terkesan maju mundur.

Mereka para pakar harus berkumpul bersama agar tercipta gambaran yang komprehensif dan menyeluruh tentang bagaimana pendidikan Indonesia seharusnya, dan merumuskan pendidikan yang benar-benar sesuai dengan kultur dan masyarakat Indonesia, yang mana bersumber dari budaya masyarakat Indonesia sendiri, karena bangsa ini memiliki jati diri. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa pengekor. Indonesia harus percaya diri dengan jatidiri dan kemampuannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun