Mohon tunggu...
Nugroho Sejati
Nugroho Sejati Mohon Tunggu... -

Masih memimpikan timnas Indonesia bisa masuk Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Asian Games, Pilkada, dan Pola Pikir Kita

9 Februari 2017   15:00 Diperbarui: 9 Februari 2017   15:11 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi tuan rumah Asian Games adalah tantangan berat bagi Indonesia, khususnya Jakarta. Dua tahun kurang bukanlah waktu yang singkat untuk mengebut persiapan menjadi tuan rumah ajang olahraga terakbar sebenua. Jangankan membangun sarana dan prasarana olahraga baru, macet dan banjir yang jadi masalah rutin pun tak kunjung usai atau setidaknya berkurang secara signifikan. Namun, momentum Asian Games menjadi aji mumpung terbesar untuk membereskan semuanya.

Tak mudah membenahi kota yang sudah terlanjur salah urus ini. Ibarat mati satu tumbuh seribu, masalah satu selesai, masalah lain menyerbu. Sebagai kota terbesar se-Indonesia, sementara desa-desa tak menjanjikan penghidupan, Jakarta harus menanggung beban urbanisasi yang sangat memusingkan.

Kepadatan penduduk yang tak wajar, kemacetan yang kini mampir ke gang-gang, hingga catatan kriminal yang terus menambah halaman, adalah pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan. Belum lagi bicara sarana olahraga yang jadi syarat utama, kawasan Senayan sudah terlalu tua dan sebenarnya butuh regenerasi juga.

“Jika mungkin, dirikanlah suatu kompleks gedung-gedung dan tempat-tempat olahraga yang baru sama sekali untuk kepentingan Asian Games,” ujar Presiden Sukarno saat menerima kepastian Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV, tahun 1962. Lain ladang, lain belalang. Lain dulu, lain sekarang. Sarana yang dibangun setengah abad silam cukup direnovasi saja saat ini.

Masalah di kota berbentuk segitiga terbalik ini terlihat sangat rumit, namun bila diamati lebih cermat, kota ini hanya perlu menegakkan aturan. Normalisasi sungai memang perlu, tapi normalisasi trotoar dan jalan raya juga tak kalah perlu. Jalan raya yang sejatinya adalah tempat kendaraan berjalan, tapi di sini malah digunakan berjualan. Trotoar yang merupakan milik pejalan berkaki dua, tapi di sini justru si lima kaki yang punya kuasa.

Banyak yang bilang kalau Jakarta lebih kejam dari ibu tiri, tapi kenyataan justru menunjukkan Jakarta jauh lebih ramah dari sales promotion girl di pekan raya. Bayangkan saja, pelanggaran demi pelanggaran dibiarkan berkembang biak. Kesalahan diwariskan terus-menerus.

Para pencari nafkah tak pernah merasa berdosa ketika berdagang di jalanan dan menyebabkan antrean kendaraan yang mengular. Yang lainnya juga tak merasa berdosa ketika membangun gubuk di pinggir kali sehingga menyebabkan banjir tahunan.

Tentu bukan salah mereka sepenuhnya. Sebagai ibu kota negara, sudah sewajarnya Jakarta menjadi destinasi penduduk dari seluruh negeri. Saat desa tak memberi sinyal perbaikan, kota adalah tujuan kaum yang berani mengadu nasib menambah pendapatan.

Saat kerlap-kerlip lampu diskotek di Kemang tak pernah redup, kegaduhan lain mencuri perhatian, utamanya di lini masa social media. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang terpeleset lidah karena berulang kali dijoroki dengan isu kepercayaan menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan. Aksi massa di pengujung tahun 2016 menghasilkan gambar-gambar yang sangat nyeni saat ditampilkan di headline koran.

Kebetulan, negara tercinta bernama Indonesia punya hajat besar tahun ini. Pilkada namanya, menjadi istimewa karena pelaksanaannya serentak di 101 wilayah. Walaupun serentak, tetap saja Jakarta yang menjadi gula-gula. Media nasional mulai dari cetak, daring, televisi, hingga radio berlomba-lomba menyajikan liputan soal Pilkada Jakarta. Daerah lain cuma jadi kacang goreng di semangkuk bubur ayam, yang keberadaannya hampir tak berpengaruh pada rasa.

Bahkan jauh sebelum tenggat pendaftaran calon gubernur, gonjang-ganjing soal siapa yang jadi pesaing petahana santer terdengar seantero negeri. Ada mantan menteri Pemuda dan Olahraga yang giat pramuka, ada anggota DPRD yang pamornya mentereng di Pasar Tanah Abang, ada pengacara yang pernah main film seri sebagai laksamana, dan tak ketinggalan mantan aktivis yang sempat menjabat menteri koordinator Kabinet Kerja walau hanya sesaat.

Waktu berlalu. Semua yang disebutkan di paragraf sebelumnya bubar jalan tak ada yang melenggang. Yang naik ke permukaan justru cukup mengejutkan. Cikeas yang sempat satu dekade jadi penguasa mengutus Agus Harimurti Yudhoyono untuk maju bersaing menjadi gubernur Daerah Khusus Ibu kota. Mantan None Jakarta, Sylviana Murni, didapuk sebagai calon wakilnya. Calon petahana yang sebelumnya ingin maju lewat jalur independen mendadak memilih kubu Banteng sebagai kendaraan politik mempertahankan jabatan. Hambalang memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai duet yang mengandalkan sikap dan gestur kebalikan dari petahana.

Semua calon memiliki visi dan misi yang baik. Tujuannya tentu perbaikan untuk Jakarta. Agus yang muda dan punya pengalaman di militer menjanjikan ide-ide segar dan kreatif. Ahok yang kinerjanya jelas terlihat dalam beberapa tahun ke belakang tentu tak diragukan untuk memimpin satu periode lagi. Anies yang cara bicaranya sejuk dan kenyang pengalaman di dunia pendidikan berhasrat menerapkan demokrasi santun untuk Jakarta dan Indonesia secara umum.

Namanya juga kompetisi, saling cela antar-pendukung menjadi hal yang jamak ditemukan, di dunia maya atau di tongkrongan. Seakan-akan nasib kira-kira sepuluh juta penduduk kota ditentukan siapa calon yang menang. Pendukung yang satu bicara jagoannya yang paling baik, pendukung yang dua dan tiga pun begitu. Dukungan berlebih kadang mengaburkan kebaikan-kebaikan yang terkandung pada lawan main.

Rakyat Jakarta (sebagian besar) menaruh perhatian lebih pada Pilkada tahun ini. Debat calon yang disiarkan langsung di stasiun televisi nasional menjadi acara yang dinanti. Bahkan, nonton bareng debat menjadi hal yang cukup sering terlihat, hampir sama antusiasmenya ketika tim nasional sepak bola sedang bertanding.

Mohammad Hatta pernah menulis dalam Daulat Ra’yat tanggal 10 Agustus 1933 yang diberi judul “Sukarno Ditangkap”. Tulisan itu sebagai tanggapan atas ditangkapnya Sukarno oleh pemerintah Hindia Belanda karena kegiatan politiknya yang dinilai mengancam. Berikut adalah kutipan dari tulisannya:

“Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi, pergerakan kita harus menjadi ‘pergerakan pahlawan-pahlawan yang tak punya nama’, artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin.”

Sepertinya ungkapan Historia Magistra Vitae yang berarti sejarah adalah guru kehidupan benar adanya. Anjuran Bung Hatta cukup relevan bila ditarik ke masa kini, meski konteks dan kejadiannya jauh berbeda. Warga Jakarta terlalu sibuk mengomentari pemimpin atau calon pemimpinnya. Sibuk mencari baik dan buruknya, membandingkan, hingga menuduh yang bukan-bukan.

Gubernur terbaik di dunia pun rasanya tak akan mudah membangun kota yang isinya para pelanggar aturan. Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh. Jalan raya sudah menjelaskan semuanya. Kita terlalu jeli melihat ke luar sehingga lupa memandang diri kita sendiri.

Sudahkah kita berhenti di belakang garis setop saat lampu berwarna merah? Sudahkah kita membuang sampah pada tempatnya? Sudahkah kita memiliki izin legal dalam mendirikan bangunan dan tempat usaha? Sudahkah kita tahan untuk tidak masuk jalur TransJakarta meski tak ada petugas yang berjaga?

Antara Agus, Ahok, dan Anies, yang kebetulan memiliki aksara sama di awal nama panggilannya, bakal ketempuhan tanggung jawab soal Asian Games setahun mendatang. Ajang tersebut bukan hanya mempertaruhkan muka Bapak Gubernur terpilih, melainkan muka seluruh warga Jakarta dan Indonesia secara umum. Mari sambut Asian Games dengan berlaku tertib di jalan, membuang sampah di tempatnya, dan bertindak sopan kepada siapa saja. Ajangnya memang tak lama, tetapi kesannya akan melekat selamanya.

Siapa pun pemimpinnya, asal bukan penjahat, pasti akan mudah bila ia tak bergerak sendiri. Jakarta butuh gerak rakyatnya sendiri untuk memuluskan program-program baiknya. Jakarta butuh rakyat yang sadar mana yang benar dan mana yang salah. Persis dengan kata-kata Bung Hatta yang ditulis dalam otobiografinya, Untuk Negeriku,berikut ini:

“Bagaimana cakap dan pandai seorang pemimpin, kalau rakyat tidak mempunyai kemauan dan keinsafan, pergerakan akan tinggal sia-sia.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun