Meningkatnya daya beli masyarakat di kota-kota besar turut berperan dalam pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan atau yang biasa disebut mal. Mal adalah salah satu tempat hiburan paling mudah dan murah yang bisa dimasuki siapa saja tanpa mengenal batas usia dan kekayaan. Tanpa modal apa pun, seseorang bisa masuk ke mal untuk sekadar mengelilinginya.
Mal tidak lagi menjadi tempat transaksi jual-beli. Kini, mal telah bertransformasi menjadi tempat yang sangat heterogen. Dari mulai pusat kebugaran hingga toko perlengkapan hewan peliharaan, semua ada di dalam mal. Bahkan, sarana pendidikan turut hadir pula ke dalam mal menyusul toko-toko buku yang lebih dulu menjamur.
Mal di kota-kota besar, khususnya Jakarta, sudah sangat banyak dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan, hanya berseberangan jalan. Tidak jarang pula mal yang berdiri berdampingan dengan institusi-institusi pendidikan seperti sekolah dan kampus. Seperti Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Kristen Atma Jaya, Universitas Nasional, dan universitas lain yang berturut-turut berdekatan dengan Margo City Depok dan Depok Town Square, Arion Mall, Plaza Semanggi, dan Pejaten Village.
Tentu ada akibat yang disebabkan oleh terlalu dekatnya jarak antara kampus dan mal, entah mana yang lebih besar, positif atau negatif.
Taufiq Daulay, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, memandang positif keberadaan mal dekat kampus. “Saya tidak melihat dampak negatif dari dekatnya kampus dengan mal. Karena selama ini, kampus yang di dekat mal tetap bisa menjalankan fungsi akademik dan organisasinya dengan baik, prestasi pun tetap bisa diraih. Sebaliknya, kampus yang jauh dari mal belum tentu bisa menyamai prestasi kampus yang dekat mal,” ujarnya.
Taufiq menambahkan bahwa adanya mal justru membantu pemenuhan kebutuhan para mahasiswa, khususnya mahasiswa rantau yang memiliki banyak aktivitas kampus. Lanjutnya lagi, kalau pun ada dampak negatifnya, itu mungkin lebih ke individu mahasiswa masing-masing dan bukan secara umum atau kelembagaan.
Pendapat sama dilontarkan Azhymatul Ulya, mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Menurutnya, mal dekat kampus bukanlah suatu masalah. “Sebenarnya tergantung anak-anaknya saja bagaimana membagi waktu, kapan untuk belajar dan kapan untuk pergi ke mal,” kata Yaya, demikian biasa disapa.
Sisi lain
Di lain sisi, makin besarnya konsumerisme di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa, juga tidak terlepas dari fakta banyaknya mal yang jaraknya hanya selemparan batu dengan kampus. Mahasiswa menjadi lebih sering ke mal untuk mengisi waktu luang atau jam kosong kuliah ketimbang ke perpustakaan atau tempat belajar lainnya.
“Tidak baik kampus terlalu dekat dengan mal. Gaya hidup bermewah-mewahan akan semakin jelas terlihat di kalangan mahasiswa,” ujar Devi Puspita Sari, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta.
Gaya hidup konsumtif yang menjadi ciri sebagian mahasiswa di kota-kota besar makin meresahkan. Mereka tak sayang mengeluarkan uang banyak demi barang-barang mewah dan terbaru. Itu mereka lakukan demi eksistensi di lingkungan kampus.
Bahkan, banyak dari mereka yang rela melakukan apa pun demi mendapatkan hal tersebut. Contoh terbaru adalah peristiwa tepergoknya seorang mahasiswi sebuah universitas sedang menerima uang dari tangan kanan tokoh politik negeri ini di sebuah hotel berbintang di Jakarta.
Terlepas dari baik atau buruknya dampak yang dihasilkan dari banyaknya mal yang sangat dekat dengan kampus, setiap hal memang perlu disikapi dengan bijak. Kembali kepada individu setiap mahasiswa dalam menyikapinya. (nsj)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H