Mohon tunggu...
Anugrah Kusumo
Anugrah Kusumo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Bogor tahun 1979. Telah selesai menjalani studi PhD di Pusan National University, Busan, Korea Selatan. Topik riset "Path planning and control for multiple robots". Sangat tertarik pada implementasi robotika untuk membantu tugas-tugas yang sulit dilakukan manusia.\r\nSaat ini mengabdikan diri di Surya University (http://www.surya.ac.id), Serpong, Tangerang sebagai peneliti di bidang robotika dan juga sebagai pengajar di Program Studi Physics - Energy Engineering (PEE).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Fake Data", Hantu dalam Publikasi Ilmiah

2 November 2012   03:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:05 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351848584582113385

[caption id="attachment_221214" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] "Fake data" atau dalam bahasa Indonesianya adalah "data palsu" adalah satu bentuk kecurangan yang paling sulit dibuktikan pada sebuah paper. Salah satu tipe fake data yang mudah dibuktikan adalah data yang merupakan hasil plagiasi dari publikasi lain. Namun demikain, sebuah fake data dapat dibuktikan juga apabila pembaca lebih kritis dalam membaca paper. Dalam artikel ini, saya mencoba mengulas fenomena fake data ini dari sisi penulis paper dan dari sisi jurnal ilmiah. Minimal ada dua jenis fake data yang ada di jagad raya publikasi ilmiah dapat saya utarakan di sini: 1. Data yang too-good-to-be-true . Di bidang teknik, biasanya data yang "selayaknya"  too good to be true adalah data simulasi. Apa itu data too good to be true ? Yaitu data yang terlihat sangat ideal. Indikasinya adalah, dalam kasus data yang disajikan dalam bentuk grafik, kurvanya mulus, tidak ada fluktuasi. Jika pun ada fluktuasi, biasanya tidak begitu besar dan terlihat teratur. Hal ini lumrah, karena simulasi biasanya mengesampingkan faktor-faktor pengganggu (disturbance dan noise), sehingga output dari sistem yang dirancang terlihat mulus dan teratur. Ketika data eksperimen disajikan, normalnya adalah data tersebut terlihat lebih tidak mulus dan tidak teratur, dibandingkan dengan data simulasi. Hal ini disebabkan ada berbagai faktor yang tidak diperhitungkan dalam analisis yang mempengaruhi output dari sistem. Nah, jika data eksperimen ini terlihat begitu teratur, begitu mulus, inilah yang disebut data too good to be true. Meskipun tidak dapat dipungkiri kemungkinan bahwa data eksperimen ini valid, namun kecurigaan bahwa data ini dimodifikasi biasanya muncul di kalangan ahli. 2. Data yang merupakan modifikasi dari hasil eksperimen asli tetapi tidak too good to be true. Biasanya, eksperimen dilakukan untuk membuktikan hasil dari simulasi. Data dari hasil eksperimen pada umumnya tidak sama persis dengan data simulasi. Biasanya dengan menunjukkan bahwa data eksperimen polanya mendekati data simulasi, itu sudah cukup. Namun ada kalanya perbedaan hasil eksperimen dan simulasi itu terlalu jauh, sehingga, karena dikejar deadline publikasi, penulis paper tersebut memaksakan diri untuk memodifikasi data yang didapat sehingga seolah-oleh terlihat convincing dengan data simulasi. Dibuat seolah-olah natural, tidak too good to be true. Lalu mengapa orang berani membuat fake data, padahal resikonya besar sekali kalau ketahuan? Bahkan bisa menghancurkan kariernya sebagai peneliti? Saya hanya bisa jawab dengan satu kata kunci: industrialisasi.

Dunia penelitian saat ini sudah menjadi satu bagian dari industrialisasi.

Satu ciri khas dari industrialisasi adalah penghargaan yang sangat tinggi atas waktu. Time is money adalah satu slogan terkenal yang diusung industrialisasi. Penelitian saat ini tidak lagi difokuskan pada upaya mencari kebenaran, tetapi juga sudah difokuskan untuk mendukung dunia industri untuk membuat inovasi-inovasi produk secepat mungkin, sehingga pebisnis-pebisnis yang membiayai riset mendapatkan keuntungan dari uang yang sudah mereka keluarkan. Akibatnya, kinerja peneliti juga diukur dari kemampuan untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru berupa hasil-hasil penelitian. Bagi peneliti-peneliti di universitas, kinerja penelitian seringkali diukur dari jumlah publikasi jurnal ilmiah yang dibuatnya. Semakin banyak publikasi, semakin menguatkan eksistensi peneliti-peneliti di universitas tersebut. Tak jarang, track record ini juga menentukan dalam proses pemenangan tender-tender penelitian yang diajukan ke para penyandang dana, baik Pemerintah maupun swasta. Tetapi karena dalam proses penelitian, beberapa peneliti "tidak beruntung" mendapatkan satu hasil penelitian yang signifikan (yang menunjukkan keunggulan hasil penelitiannya dengan hasil penelitian orang lain), maka "jalan pintas" pun ditempuh dengan memberikan "fake data". Sebagai contoh, dalam kasus penyajian data dengan grafis, penulis mencoba memodifikasi data eksperimennya sehingga menunjukkan sedikit keunggulan metodenya dibandingkan metode yang sudah ada. Dengan software Photoshop misalnya. WHAT ??? Photoshop ???? Jangan kaget, it's real :) Saya tidak mau sebut nama, tetapi dalam dunia riset, kadang-kadang bentuk kecurangan seperti ini terjadi. Dan ketika hasil ini dipublikasikan, kita tidak dapat menyalahkan situasi ini ke penulisnya saja. Tetapi juga ke publisher-nya juga. Juga ke para reviewer-nya juga.... Tetapi memang, tindakan sanksi biasanya dikenakan kepada inisiatornya, yaitu penulis paper. Banyak jurnal internasional yang ceroboh dalam mempublikasikan paper. Tidak jarang sebuah jurnal memuat banyak paper yang datanya palsu, alias bukan data yang diambil dari hasil eksperimen yang fair/yang sudah dimodifikasi. Beberapa penyebab saya utarakan berikut ini: 1. Keterbatasan jurnal tersebut untuk mendapatkan hasil review yang maksimal dari para reviewernya. Para reviewer sebenarnya merupakan "sukarelawan" bagi jurnal. Pekerjaan intinya bukanlah me-review paper. Mereka juga memiliki pekerjaan profesional, seperti peneliti / manager perusahaan. Akibatnya, mereka sulit mereview paper dengan maksimal apabila pada saat yang sama beban kerja mereka juga meningkat. 2. Kebutuhan jurnal untuk memenuhi kuota publikasi per satu periode penerbitan. Misalnya 30 paper sekali terbit. Ini biasanya terjadi pada jurnal-jurnal yang menerima manuscript (bakal paper) terlalu sedikit. Hal ini akan berdampak pada ditoleransinya beberapa paper yang sebenarnya tidak direview dengan baik untuk dipublikasi. 3. Terkadang insting para reviewer kurang tajam begitu membaca paper yang sedikit tidak relevan dengan bidangnya. Sehingga meskipun dasar teori dan analisis benar, tetapi data palsu tidak dapat dikenali. Namun demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi bahwa semua peneliti itu curang, atau data yang dipublikasikan itu adalah data palsu. Saya hanya ingin mengingatkan untuk para pelaku dunia penelitian, bahwa potensi kecurangan selalu ada dalam publikasi ilmiah, khususnya dalam penyajian data yang palsu ini. Jadi berhati-hatilah dalam membaca jurnal ilmiah, yang internasional dan top di bidangnya sekalipun! Dan jangan minder kalau membaca paper ilmiah dari peneliti-peneliti dunia. Mungkin saja hasil penelitian mereka tidak valid!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun