Mohon tunggu...
nugass
nugass Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Tradisi dalam Keberagaman: Harmoni Multikulturalisme di Desa Luwus Bali

16 Desember 2024   16:45 Diperbarui: 16 Desember 2024   16:45 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tradisi Ngerebeg sumber (https://images.app.goo.gl/M5ZJjUmCCkqS2Kmb6)

Di Provinsi Bali, khususnya di Desa Luwus, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, multikulturalisme tidak hanya tercermin dalam keragaman suku dan agama, tetapi juga di dalam desa luwus ini keragaman tradisi dan adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat ini. Desa luwus menjadi bukti bahwa keberagaman budaya bisa menjadikan landasan yang kokoh untuk menciptakan harmoni sosial. Masyarakat desa luwus ini yang sebagian besar beragama Hindu, dimana meraka yang hidup selalu berdampingan dengan rasa saling menghormati terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Di tengah keindahan alamnya, Masyarakat Desa Luwus mempertahankan tradisi yang beragam contoh salah satunya yaitu Upacara Keagamaan yaitu "Ngerebeg".   

Luwus adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, provinsi Bali, Indonesia. Salah satu tradisi yang sangat dijaga di Desa Luwus, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan adalah upacara "Ngerebeg". Tradisi ini dilaksanakan secara berturut-turut selama tiga hari yang bertepatan dengan hari Kliwon. Ngerebeg adalah bagian dari upacara keagamaan Hindu, di mana masyarakat melakukan persembahyangan dengan menghanturkan berbagai banten seperti canang gebogan, canang sekasi, canang soda, dan banten lainnya, di depan gapura atau angkul-angkul rumah masyarakat. Upacara ini dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud penghormatan dan permohonan berkah. Pada hari pertama dan kedua, masyarakat melakukan persembahyangan di semua pura-pura di desa itu terlebih dahulu. Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan menghanturkan banten di depan angkul-angkul di seluruh perumahan masyarakat di desa luwus ini. Hari ketiga atau hari terakhir Ngerebeg, menjadi puncak dari upacara ini, di mana para pemuda di Banjar Luwus memainkan kukul, yaitu sebuah alat musik tradisional yang dipukul secara bergantian. Kulkul ini memiliki makna simbolis untuk mengusir roh-roh halus dan mengalihkan energi negatif, sekaligus menjaga kesucian upacara serta lingkungan sekitar. Suara kukul yang keras dan khas ini menjadi tanda bahwa upacara sedang berlangsung dan memberi tahu masyarakat untuk segera berkumpul. Kulkul juga memudahkan masyarakat untuk mempersiapkan diri sebelum upacara dimulai. Pada hari ketiga ini juga, masyarakat akan diberikan nasi kuning sebagai simbol keberkahan, nasi ini kita "tunas" (makan) setelah upacara selesai. Setelah upacara persembahyangan selesai, masyarakat juga diberikan gelang Tridatu, yang terdiri dari warna putih, merah, dan hitam. Gelang ini memiliki makna sebagai simbol keseimbangan dan perlindungan.  Tradisi Ngerebeg di Desa Luwus ini merupakan ritual yang wajib dan penting untuk dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Alam Lingkungan sekitar kita. Selain itu, tradisi ini juga membawa makna kolektif dalam memperkuat ikatan sosial dan membangun rasa kebersamaan di kalangan masyarakat.

Meski Desa Luwus itu mayoritasnya beragama Hindu, keberagaman agama di desa ini juga sangat terasa. Terdapat masyarakat yang menganut agama Islam, dan Kristen. Meskipun adanya perbedaan agama, masyarakat Desa Luwus hidup dengan penuh toleransi dan saling menghormati. Tradisi Ngerebeg, yang merupakan salah satu manifestasi dari multikulturalisme, menjadi bukti nyata bahwa keberagaman agama dan budaya di desa ini tidak menghalangi masyarakat untuk hidup rukun. Setiap agama dan tradisi saling berinteraksi dalam kedamaian, menciptakan suasana yang harmonis, serta memperkaya nilai-nilai sosial dan budaya yang ada di Desa Luwus. Dengan adanya toleransi yang tinggi antarumat beragama, masyarakat Desa Luwus berhasil mempertahankan tradisi mereka tanpa mengabaikan pentingnya saling menghargai. Multikulturalisme di Desa Luwus menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang dapat memperkaya kehidupan bersama. Masyarakat yang berbeda agama dan budaya saling berinteraksi dengan penuh rasa hormat, menjadikan Desa Luwus contoh sempurna tentang bagaimana keberagaman dapat menjaga tradisi dan menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis.

Di Desa Luwus ini keberagaman agama dan budaya tidak adanya atau tidak menimbulkan permasalahan yang serius tentang multikulturalisme di masyarakat, justru memberikan dampak positif yang sangat signifikan. Hal ini mencerminkan keharmonisan yang terjalin antarwarga dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Keberagaman ini justru membawa dampak positif bagi masyarakat, di mana mereka saling tolong-menolong, menghormati perbedaan, dan menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi terhadap sesama, terutama yang beragama berbeda. Tradisi yang dijaga dengan baik, seperti Ngerebeg, dapat mempererat hubungan antarwarga, tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan saling tolong-menolong dan menghormati.  Keberagaman ini memperkuat rasa kebersamaan, menciptakan suasana yang harmonis, serta membangun ikatan sosial yang solid. Tidak adanya konflik terkait multikulturalisme di Desa Luwus juga berpengaruh positif terhadap lingkungan sosial yang lebih inklusif dan damai. Masyarakat memiliki rasa saling menghargai, mengutamakan kepentingan bersama, dan menjaga kelestarian tradisi. Masyarakat Desa Luwus hidup dalam keberagaman tanpa mengalami permasalahan terkait multikulturalisme. Keberagaman agama dan budaya di desa ini justru memperkuat rasa saling menghormati, toleransi, dan kebersamaan antarwarga. Tidak adanya konflik menunjukkan bahwa masyarakat Desa Luwus berhasil menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis, di mana setiap individu dapat menjalani kehidupan dengan penuh rasa persatuan meski memiliki latar belakang yang berbeda. Toleransi yang tinggi menjadi dasar kehidupan sosial yang sehat dan saling mendukung di tengah keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun