Mohon tunggu...
Nudinlubis Lubis
Nudinlubis Lubis Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saat ini saya hanya seorang anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relokasi ke Pulau Koruptor (Sebuah Cerita)

12 Februari 2014   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Biar bagaimanapun, sel tahanan para koruptor Indonesia itu masih tergolong mewah. Masih lebih baik dari kos-kosan mahasiswa di Yogyakarta, termasuk kos-kosan saya dulu. Padahal secara status jelas orang-orang yang menempati sel tersebut telah dicap sebagai penjahat berdasi yang sudah merugikan Negara. Katanya, kalau saja tidak ada korupsi di negeri ini rakyat makmur, katanya kalau saja kita bebas dari korupsi maka rakyat Indonesia tak lagi ada yang boleh miskin. Sekolah gratis sampai S2 kalau perlu, berobat gratis, bahkan rumah sakit negeri di Indonesia harus sekelas rumah sakit di Singapura. Ya karena negeri kita ini yang punya berbagai macam sumber daya alam terlalu kaya kalau hanya untuk segerombolan tengik tikus-tikus Negara.

Padahal kalau kita amati rumah-rumah rakyat Indonesia, di perkotaan masih banyak rumah kumuh, mepet di pinggiran bantaran kali, seperti sampah besar yang tersangkut dipingiran kali, hanya bedanya lebih tersusun rapi, rapi juga berdasarkan aturan kerapihan sampah. Juga masih di kota besar, Negara yang katanya milik rakyat ini, pemilik Negara ini masih ada yang hidup beratap sangat mewah terbuat dari beton bertulang setebal satu sampai satu setengah meter, alias jembatan. Dindingnya terbuat dari kardus atau terpal bekas, kadang juga terbuat dari kertas semen yang sudah dicuci dan dibersihkan, apa saja yang bisa dipakai untuk menutup diri dari semprotan air hujan dan hembusan angin dipakai oleh mereka rakyat yang sangat kecil ini. Nampaknya mereka telah menemukan teknologi bahan bangunan recycle hanya saja kemen PU mungkin punya pandangan lain, itu hanya rumah kumuh tak layak huni. Tapi nyatanya sudah beranak pinak juga anak tiri bangsa ini di rumah sampah itu.

Kalau kita cermati dan renungi dalam-dalam, betapa enaknya jadi penjahat kelas berat di negeri ini. Katanya korupsi kan extraordinary crime kok hukumannya ordinary tok, nggak pakai extra. Betapapun menjalani hukuman masih tetap enak, meski sang koruptor masih bisa mengeluh, sekarang di dalam sel jauh lebih sempit, tidak seleluasa dulu saat masih menjabat, koruptor-koruptor itu juga merasa telah menjalani sesuatu yang amat berat bagi dirinya. Itu kan dari sudut pandang koruptor sendiri, bagaimana dengan sudut pandang rakyat-rakyat sangat miskin. Andai saja Kemenkumham menawarkan sel-sel koruptor itu kepada manusia-manusia kardus untuk dihuni, menjadi tempat tinggal mereka, gratis, dikasih makan, tentunya banyak yang mau. Wong sel tahanan kondisinya jauh lebih baik dari rumah kardus atau rumah plastiknya.

Hukuman dan efek jera bagi koruptor ini masih jadi pekerjaan rumah kita bersama, rakyat juga harus mendukung hukuman apa yang tepat dan cukup menjerakan koruptor. Supaya pemerintah dan legislatif kita tidak ragu menentukan hukuman. Di Negara ini hukuman berat bagi koruptor nampaknya masih ragu-ragu untuk diterapkan, saya jadi curiga kalau-kalau orang-orang berwenang ini takut akan mitos Empu Gandring, membuat keris untuk Ken Arok yang justru membunuh dirinya sendiri. Jangan-jangan anggota dewan yang terhormat ini terkena Empu Gandring  Syndrom. Takut-takut nanti kalau diterapkan hukuman berat bagi koruptor, eh malah kena sendiri jadi senjata makan tuan.

Lain Koruptor masa kini lain pula nasibnya Tapol masa awal Orde Baru. Koruptor masa kini meski telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, diproses panjang, dibela pengacara sampai berbusa-busa, dikutuk  masyarakat sebagai kejahatan yang paling dibenci saat ini, tapi ya hanya sebatas benci lewat televisi atau media lainnya. Rakyat tidak bisa berbuat banyak menghukumi koruptor, hanya ikut-ikutan saja. Itu saja masih enak hukumannya. Tok, tiga tahun, Tok banter-banter lima tahun, hanya yang terakhir agak heboh vonis yang diderita mantan presiden partai sapi. Itu mungkin naas saja. Lainnya, meski dituntut belasan tahun, diskonannya juga banyak oleh hakim. Vonis ringan, penjara nyaman, bahkan ada yang boleh membuat mewah selnya. Wah nampaknya masa depan sel koruptor semakin hari akan semakin baik. Matilah kamu manusia kardus dan bantaran sungai.

Semenara Tapol (Tahanan Politik), orang-orang yang cukup dengan dituduh terlibat G30S, tanpa pembelaan, tanpa proses pegadilan, dihukum jauh lebih berat. Berpindah-pindah sel tahanan, lalu dibuang ke pulau-pulau lain di Indonesia. Dijadikan pekerja berat tanpa upah, diberi makan sekenanya, membuka hutan, membuat jalan, mencangkul dan bertani. Dan sekali lagi perlu dicatat bahwa hukuman ini diberikan tanpa proses pengadilan dan hanya berdasarkan tuduhan yang belum tentu berdasar.

Pertanyaannya adalah apakah memang G30S lebih berbahaya dari Korupsi? Sehingga orang-orang yang hanya dituduh terlibat bisa dijadikan Tapol dan dibuang, yang dibuang itu masih jauh lebih baik daripada yang mati dibantai ramai-ramai. Itu pun tanpa proses peradilan. Dan selamanya rezim yang dimulai dengan pertumpahan darah akan sibuk mengurus membenahi nurani dirinya sendiri. G30S bisa saja dianggap berbahaya karena telah mengakar dan mempengaruhi petani-petani sampai ke pelosok desa. Sehingga perlu ditumpas habis. Korupsi saat ini juga tidak kalah mengakarnya sampai pelosok desa sampai-sampai kepala desa juga banyak yang dibui karena kasus korupsi kecil-kecilan. Tapi persoalan yang terakhir ini justru semakin dilestarikan seperti kebudayaan baru, kalau saja Malaysia juga mau mengklaim bahwa budaya korupsi adalah berasal dari sana, mungkin Kementerian Kebudayaan kita juga akan membantah bahwa sebenarnya korupsi itu asli buatan Indonesia.

G30S yang dianggap berbahaya bagi Pemerintah Orba ditumpas habis. Mengapa Korupsi yang juga dianggap kejahatan paling luar biasa di masa reformasi ini tidak ditumpas habis juga? Justru semakin memperluas pengaruhnya. Saya akhirnya bermimpi, koruptor ini tidak perlu dibantai ramai-ramai di lapangan yang bisa ditonton rakyat, cukup dibuang saja sama nasibnya seperti Tapol-tapol yang dituduh terlibat G30S itu. Koruptor ini sudah jelas kejahatannya, sudah dibuktikan di pengadilan. Kurang apalagi? Kalau istilah dibuang mungkin terlalu kasar, sebaiknya menggunakan kata “direlokasi”. Itu jauh lebih nyaman didengar.

Ya, kenapa hukuman bagi para koruptor tidak hukuman relokasi saja ke pulau-pulau lain di Indonesia. Untuk membangun kemandiriannya sendiri, bertani sendiri disana, pemerintah menyediakan sarana dasar untuk memulai kehidupan baru di pulau yang kita beri nama saja Pulau Koruptor. Tidak ada penghuni lain selain petugas khusus yang bertugas mengantarkan dan menjaga pos pulau ini adalah para terdakwa korupsi dari seluruh Indonesia. Koruptor diberikan pelatihan-pelatihan dasar untuk bertani, beternak dan memproduksi pangan sendiri. Bagaimana merasakan pola kehidupan seperti masyarakat golongan terbawah dari negeri ini yang secara langsung maupun tidak langsung telah menjadi korban dari tindakan korupsi.

Pulau Koruptor ini juga akan menjadi laboratorium penelitian bangsa, untuk studi kasus bagaimana jika sebuah masyarakat terdiri dari hanya jiwa-jiwa yang korup, apakah mereka akan saling menipu satu sama lain? Apakah nanti alam di Pulau Koruptor tersebut bisa habis dimakan koruptor? Apakah yang akan terjadi nanti setelah sepuluh tahun Pulau Koruptor dihuni oleh para koruptor? Bagaimana setelah dua puluh tahun? Dan masih banyak pertanyaan lain, yang tentu akan menarik jika hal ini benar-benar ada.

Di Pulau Koruptor ini tidak ada akses komunikasi canggih ke pulau lainnya, alat komunikasi hanya ada radio pada posko penjagaan pintu gerbang pulau tersebut, jaraknya sekitar dua puluh kilo meter dari pemukiman para koruptor, yang ditempuh hanya bisa dengan jalan kaki oleh para koruptor. Tidak ada listrik, seperti halnya pedalaman-pedalaman lainnya di Indonesia yang dihuni masyarakat bukan koruptor. Supaya koruptor juga merasakan nasib bangsa yang merana lainnya. Juga tidak disediakan instalasi air bersih perpipaan, air bersih didirikan sendiri dengan membuat sumur. Tidak ada pompa air, tidak diberikan bahan bakar, kalau butuh air pakai timba dari tali.

Tapi saya berani jamin, di Pulau Koruptor ini tidak akan ada macet dan suara bising knalpot kendaraan. Ada rumah sakit di posko penjagaan, kalau ada warga koruptor sakit, bisa dijemput dengan ambulan khusus oleh petugas posko. Rumah sakitnya gratis, karena disana memang tidak ada peredaran uang, tapi tagihan akan datang ke rumah keluarga warga koruptor kalau masih kaya dan tidak masuk dalam program jaminan kesehatan masyarakat.

Koruptor bisa saja beranak pinak di pulau ini, boleh saja menikah lagi mungkin bagi warga koruptor wanita yang janda dan atau laki-laki yang duda. Atau warga koruptor laki-laki yang mau punya istri sirri. Kalau terjadi kelahiran anak, anak-anak tersebut akan ditanggung oleh Negara, ia akan ditampung di posko penjagaan bersama Ibunya saja, sampai pada cukup waktu untuk bisa hidup kembali ke perkampungan koruptor atau dititipkan di rumah keluarga koruptor yang kaya raya di luar sana.

Kalau pun sampai terjadi adanya anak koruptor yang hidup di Pulau Koruptor, di pulau ini tidak akan didirikan sekolah formal. Kalau hanya untuk baca, tulis dan hitung, warga koruptor sudah cukup bisa mengajarkan. Bukannya dulu mereka pejabat. Tidak perlu didatangkan guru bantu, tidak perlu ada sosialisasi pemilu, mereka sudah cukup paham dan ahli soal partai-partai dan politik, juga tidak perlu ada survey-survey elektabilitas, tidak perlu ada sosialisasi konfersi bahan bakar kayu bakar ke gas. Hidup di Pulau Koruptor ini akan menjadi kehidupan yang paling irit se-Indonesia, kehidupan paling mandiri, dari sendiri, oleh sendiri untuk sendiri. Tidak ada impor bawang, beras, juga daging sapi meski di pulau tersebut mungkin ada warganya yang masuk ke Pulau Koruptor juga gara-gara tersangkut masalah impor-imporan. Buku hanya ada kitab suci dan terjemahannya. Tidak disediakan kertas dan bolpoint, bukan karena warga koruptor dilarang untuk membuat catatan pribadi yang mungkin nanti akan menjadi buku cerita yang fenomenal, tapi sekedar langkah antisipasi dari penyalah gunaan alat tulis untuk menulis memo kepada petugas jaga yang mungkin berisi nomer rekening, atau memo berisi tulisan “sebut saja berapa”, “wani piro?” dll.

Kemandirian dari Pulau Koruptor ini akan menjadi contoh, dengan catatan jika berhasil, bagi rakyat Indonesia. Yang koruptor saja bisa kok hidup mandiri, bertani sendiri, makan dari hasil sendiri, kok rakyat yang tidak korupsi masih mengagung-agungkan produk impor. Betapa hebatnya kan Koruptor Indonesia. Bisa memberi contoh yang baik bagi bangsa Indonesia. Betapa hidup jadi semakin berkualitas dengan dekat dengan alam, tanpa polusi, tanpa kemacetan, tanpa kegalauan karena belum update status hari ini. Ini juga akan menjadi pembuktian bagi para koruptor, bahwa koruptor bukan satu-satunya penyebab dari segala masalah di negeri ini. Tapi ini jika berhasil membuktikan diri. Situasi lain bisa saja terjadi, bisa saja koruptor telah berusaha mengerahkan orang-orang kepercayaannya di luar sana untuk mengirimkan helikopter, menjemputnya untuk jalan-jalan sebentar ke makau atau nonton tenis di Bali pakai wig, atau mungkin nonton ILC sebentar untuk ikuti perkembangan terbaru, melihat prospek calon-calon pendatang baru. Bisa saja warga koruptor bersekongkol untuk menyerbu pos penjagaan dengan senjata bambu runcing, kan agak tren itu penjara-penjara juga diserbu. Eh tapi ini bukan penjara, tapi pulau relokasi. Tapi untuk antisipasi penyerbuan perlu juga rasanya dibuat benteng khusus.

Karena ini pulau yang tidak seluruhnya terjaga sisi-sisinya, bisa saja koruptor juga sudah memberikan pesan sebelum didikirm ke Pulau Koruptor. Bahwa setelah sekian hari dikirim, ia minta dijemput di bagian sisi tertentu di pulau dengan perahu nelayan. Mirip penyelundupan imigran gelap. Maka sebagai Negara dengan sistem pertahanan yang baik, sudah selayaknya membuat antisipasi-antisipasi. Dibuat pos-pos penjagaan setiap lima sampai sepuluh kilometer di sepanjang sisi pulau, dengan penjaga akan dirotasi searah jarum jam setiap hari. Antisipasi ini dilakukan untuk penertiban terhadap tamu-tamu yang tidak berkepentingan. Tidak dilakukan untuk menindak disiplin kalau ada warga koruptor yang ingin kabur dengan berenang. Untuk hal satu itu dipersilahkan bagi yang sanggup, berenang sampai jawa.

Di lautan juga disiapkan kapal perang bersenjata lengkap, untuk menembak hancur sampai karam kapal-kapal yang mencoba membawa kabur warga koruptor. Kapal ini juga berfungsi ganda untuk melakukan operasi harian mengelilingi pulau dan mengamankan lautan Indonesia dari pencuri ikan kapal asing.

Betapa banyak manfaat yang bisa bangsa ini dapatkan dari adanya Pulau Koruptor ini. Pertama, program transmigrasi pemerintah berhasil dan berprestasi karena yang ditransmigrasikan adalah juga golongan manusia-manusia yang telah merugikan Negara. Kedua, pembuktian diri bagi para koruptor untuk mereka sendiri agar tidak disebut lagi sebagai penghambat kemajuan bangsa kalau setelah koruptor direlokasi ke Pulau Koruptor bangsa Indonesia masih juga belum maju karena ulahnya sendiri. Ketiga, laboratorium bangsa untuk penelitian antropologi, politik, dan kemandirian bangsa terutama sektor energi dan pangan yang begitu boros. Keempat, latihan militer kelautan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kepulauan terbesar di dunia ini dengan tiga belas ribu pulau lebih. Dan mungkin masih banyak manfaat lain yang belum terfikirkan oleh kepala saya yang kecil ini.

Tapi betapapun ini sebuah pulau relokasi percobaan, ada masanya nanti pulau ini bisa dibuka aksesnya ke dunia luar. Sampai kapan? Sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun? Tidak tahu, karena parameternya adalah kebersihan bangsa ini dari praktek dan penyakit korup. Dan tujuan relokasi ini untuk membasmi tingkah laku korupsi. Maka akses keluar dari pulau ini pun akan dibuka setelah cita-cita itu tercapai. Kalau sampai butuh waktu 350 tahun lagi, ya itu keterlaluan, bangsa ini sudah dijajah tiga setengah abad, itu bangsa yang buta huruf dulunya. Masa bangsa yang sudah melek huruf ini mau bebas dari korupsi juga harus 350 tahun lagi. Sudah sepadat apa nanti Pulau Koruptor?

Dibalik setiap kebijakan pasti ada pertentangan, relokasi dan segala sistemnya ini bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang melanggar HAM oleh orang-orang tertentu, bahkan korupsi sendiri pun juga dianggap pelanggaran HAM oleh sebagian orang. Toh kalau relokasi ke Pulau Koruptor ini dianggap pelanggaran HAM, lalu pembuangan Tapol tanpa proses pengadilan itu apa namanya? Lalu penghilangan aktifis-aktifis itu juga apa namanya? Relokasi ini jelas jika disetujui konstitusi adalah sebuah upaya untuk pembenahan bangsa ke arah yang lebih baik. Yang direlokasi pun adalah juga jelas terdakwa kasus korupsi, ya kalau ada Negara asing mau ikut nyampuri protes, wong Negara adikuasa saja punya penjara model pembuangan begini cuek-cuek saja kok.

Satu pesan dari rakyat akan ditulis untuk para warga relokasi Pulau Koruptor, “Rasakan apa yang juga telah lama kami rasakan”. Rumah kardus, rumah plastik, tidak punya listrik, tidak punya sekolahan, hidup hanya dari apa yang ada disekitar, tapi itu saja masih lebih untung dari rakyat yang masih harus membayar pajak. Yah koruptor, sudah direlokasi saja masih ada untungnya. Yah orang Indonesia, untung terus, untung dijajah cuma 350 tahun, coba kalau 1000 tahun, untung cuma belanda 350 tahun, lalu jepang yang lebih kecil 3,5 tahun, coba kalau masih juga digilir inggris 100 tahun, spanyol, portugis, terus penjajah mana lagi. Untung merdeka. Dihukum relokasi juga masih untung daripada dihukum mati, dihukum mati juga mungkin masih untung daripada dibantai ditonton ramai-ramai, itu juga masih untung nggak dimakan macan. Untungnya macannya nggak doyan. Untungnya ini juga cuma mimpi. Untung untung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun