Mohon tunggu...
Nudia Amburika
Nudia Amburika Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup tak seindah senyum

1 Januari 2025   21:17 Diperbarui: 1 Januari 2025   21:15 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar Indah. Gadis berusia 17 tahun itu sedang bersiap ke sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi teman-temannya, Indah adalah sosok yang ceria, selalu bisa mencairkan suasana dengan candaan dan tawa.  

Namun, siapa sangka di balik senyum itu tersimpan luka yang tak pernah ia bagi.  

Di rumah, hidup Indah tak seindah yang terlihat. Ayahnya sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan ibunya lebih sering menghabiskan waktu mengeluh tentang hidup daripada memberikan perhatian. Tak jarang, suara pertengkaran orang tuanya memenuhi rumah kecil mereka, membuat Indah memilih untuk mengurung diri di kamar.  

“Hidupku seperti sandiwara,” gumam Indah suatu malam, memandangi langit-langit kamarnya. Ia memendam semuanya sendirian. Baginya, senyum adalah satu-satunya pelindung dari pertanyaan orang lain.  

Di sekolah, Indah menjadi sahabat bagi semua orang. Ia mendengarkan curhat teman-temannya, memberi nasihat, bahkan menjadi penghibur saat ada yang sedang sedih. Tetapi, ketika jam sekolah usai dan ia harus pulang, senyum itu perlahan memudar.  

Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Pak Arya, guru bimbingan konseling yang baru. Saat itu, Pak Arya meminta siswa-siswinya menuliskan sebuah esai tentang apa yang paling mereka rasakan dalam hidup. Tanpa disangka, Indah menuliskan semua yang ia pendam selama ini.  

"Pak, saya sering merasa seperti hidup ini terlalu berat," tulisnya di bagian akhir esai itu.  

Pak Arya membacanya dengan seksama. Esai itu membuatnya tersadar bahwa gadis ceria yang selama ini tampak bahagia ternyata menyembunyikan beban yang begitu besar.  

Keesokan harinya, Pak Arya memanggil Indah ke ruang bimbingan. “Indah, terima kasih sudah mau jujur dalam tulisanmu. Kalau kamu ingin berbagi lebih banyak, saya ada untuk mendengarkan,” kata Pak Arya dengan lembut.  

Awalnya, Indah ragu. Namun, tatapan tulus dari Pak Arya perlahan mencairkan pertahanannya. Untuk pertama kalinya, Indah menangis di depan seseorang, menceritakan semua hal yang selama ini ia pendam.  

"Kadang, hidup memang tak seindah senyum yang kita tunjukkan," ucap Pak Arya. "Tapi kamu harus tahu, memendam semuanya sendiri tidak akan membuat luka itu hilang. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan, dan langkah pertama adalah dengan membiarkan orang lain membantu."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun