Mohon tunggu...
Ibnu Hasan Sadeli
Ibnu Hasan Sadeli Mohon Tunggu... -

"Siapalah saya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hitam Putih Kopi Hitam

29 Agustus 2014   13:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:12 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini tak ada suara Musik, tak ku lihat wajah pembaca berita, hanya deru kendaraan samar terdengar. Dalam diamku, Aku teringat si hitam dan si putih, ku paksakan kontrasnya menyatu, dari dua rasa berbeda (pahit dan manis). Namun sayang, si putih hilang setelah aku satukan dengan si hitam. Kini tinggal si hitam, meski si putih tak nampak lagi, tapi manisnya tetap terasa asal takaranya seimbang.

Sudah takdirnya, si putih selalu jadi panutan, sedang si hitam jadi momok paling menakutkan, kehadirannyapun tak pernah dikehendaki oleh si putih. Padahal, jika si putih menghampiri si hitam, si hitam tak menampiknya. Si hitam tak pernah marah, jika diantaranya ada yang mengikuti si putih, tapi si putih selalu membenci jika diantaranya mengikuti si hitam. Si putih memang egois, meski sering meminjam karakter si hitam, tapi tak mau berbaur dengan si hitam. Si hitam bagi si putih hanyalah monster. Sedang si putih bagi si hitam adalah cermin tempatnya merenung dari kelamnya jiwa.

Si hitam menyadari, dirinya tak selembut si putih, tapi bukan berarti kasar, karena kelembutanya tak terlihat. Berbeda dengan si putih yang kerap mempertunjukan kelembutannya. Meski si hitam kerap meresahkan si putih, tapi sekali lagi, si hitam tak pernah membencinya, sebab disaat ia jenuh dengan kegelapan, sewaktu-waktu ia akan merindukan si putih dan memeluknya tanpa melupakan si hitam. Karena ia tahu bagaimana rasanya menjadi si hitam, gulita tak bercahaya, terkucilkan. Dan ketika si hitam mampu menggapai cahaya si putih, ia akan memanfaatkan sinarnya dengan sebaik-baiknya. Namun apa yang terjadi dengan si putih? Mengingat terbiasa menghitamkan si hitam, si putih tak pernah bercermin, sebab ia menganggap sebaik-baiknya cermin adalah dirinya. Tanpa disadari si putih sedikit demi sedikit ternoda oleh kepongahannya, Pada akhirnya, cepat atau lambat, tidak menutup kemungkinan si putih perlahan meredup, sedang si hitam bersinar terang.

Dalam hidup, hitam dan putih tak bisa saling meniadakan, sebab tanpa si hitam, apa artinya para pengkhotbah? Tanpa si putih siapa yang khotbah? manusia itu cepat sekali berubah, sekarang hitam bisa jadi besok putih, begitu sebaliknya. Putih jangan so’ suci, hitam jangan so’ legam. Artinya, Mari kita nikmati kopi hitam pagi ini sesuai takaran anda, silahkan tafsirkan sendiri kekentalan rasa antara si putih dan si hitam dalam secangkir hitam-putih kopi hitam.

Catatan :
Kalo gak suka kopi, nge-teh juga boleh, apa lagi air transparan suka-suka deh hehe.

Salam,
Ampera raya, 29 Agustus 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun