Aku pernah jatuh hati pada hati yang ternyata bukan pelabuhan tepat bagi pelayar sepertiku.
Aku berusaha menjadi nahkoda yang handal,
Namun saat aku bertemu ombak besar, Aku telah menyalahkannya.
Padahal, yakinku semakin tenang laut itu, maka tak akan menghasilkan nakhoda yang handal.
Aku sadar, terbutakan oleh cinta itu salah.Â
Apakah aku harus menancapkan duri pada hatiku sebagai bentuk kesalku terhadap rasa yang enggan pergi?
Ku rasa tidak. Itu bukan kesalahan hatiku, itu kesalahanku, bahkan murni.
Aku tak mengedepankan Allah dalam urusanku,
Aku terlalu khawatir akan perihal jodoh.
Yah, begitulah. Saat hati tak mampu bicara, bukankan kata-kata sudah menjadi penghulu antara rasa dan realita?
Pun aku pernah menempatkannya lebih dari egoku,
Bukan aku tak bertanya, hanya saja Aku selalu menepis perihal ditinggalkan.
Nyatanya, kepergiannya tetap saja terjadi.
Mau bilang aku berjuang sendirian?
Tidak. Jelas tidak. Dia pun berjuang.
Hanya saja, dia tak lebih kecil memiliki hati kerdil tuk dipertaruhkan dalam ikhtiyar cinta.
Dia yang kemarin berkata tak mampu berucap good bye, nyatanya saat bertemu pada rasa berbeda, dia hadapi dengan good day.
Ah, bodoh? Sedikit. Aku tak salah memperjuangkan cinta.
Memalukan? Tidak.Â
Usaha untuk setia itu keputusan untuk menjadi sempurna bak kupu-kupu.
Dari pada hanya sebatas kepongpong? Tak pernah dilihat bukan? karena Yang dilihat itu kupu-kupunya.
Tak lepas dari semua itu, kekokohan dinding bathin, rasanya semakin krisis percaya.
Apa seperti itu boleh? Dalam kamusku tidak. Namun tetap ku lakukan, tak lebih hanya sebatas usaha membentengi diri agar tak tersandung dengan kayu atau batu yang sama.
Sekian, sedikit ilusi sakit hati kerena makhluk Allah. Dan karena aku yang terlalu sering meninggalkan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H