Mohon tunggu...
nuas nurdin
nuas nurdin Mohon Tunggu... -

...berusaha terus belajar, tak ingin lelah..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jazirah Raja-Raja; Terkenang Kembali

27 Januari 2010   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari yang luar biasa, ketika senja merapat dihantar rintik satu-satu, cahaya mentari yang sedang condong bersepakat dengan titik halus gerimis menghadiahi anak-anak pulau dengan sebuah pesona tak bercela, sebentuk pelangi. Sungguh mengagumkan sore itu, dari kejauhan di Pulau Tiga tampak lengkungan warna-warni memeluk negeri para raja-raja, Jazirah Leihitu Ambon.

Tiba-tiba terkenang lagi, ketika seorang kawan mengabarkan bahwa hari ini ia akan bertolak kembali ke kota itu, Ambon. Dan ingin kupenuhi janji padanya untuk menuliskan sedikit kenangan tentang tanah itu. Pengalaman pertama selalu berkesan, itulah sebabnya begitu banyak kenangan di sana. Sebab ia tanah yang pertama kali manadah kerja dan pengabdian yang tentu tak seberapa, tanah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Tanah yang menyuguhkan pesona budaya dan keindahan alam.

Kuteguhkan langkah untuk memulai perjalanan waktu itu. Dan tepat ketika matahari menjenguk pagi, keemasan cahaya di ketinggian langit saat terlihat pertama kali tanah itu dari udara, sebuah tanah yang hijau di kawal pulau-pulau dibingkai garis putih pasir pantai disekelilingnya. Ini menjadi awal kekaguman yang tak pernah selesai akan keindahan tanah itu. Bila siang hari , dari bukit-bukit Batu Merah terlihat tak jauh di bawah sana teluk Ambon yang tenang, bila malam tiba, anak-anak disini seolah bisa memetik rembulan, Juga tampak Kuda Mati seperti pohon natal raksasa, setiap malam seperti ada pesta di depan Al-fatah dan Ai Paty, semua tersaji dari suwami (penganan dari ubi yang dihaluskan dan di kukus) dan ikan asar sampai gelang besi putih serta minyak wangi digelar hingga larut.

Berjalan ke utara melintas di Durian Patah melewati jalan berkelok di puncaknya terlihat tanah besar diseberang, Pulau Seram. Bersua dengan negeri raja-raja dan para kapitan, bejejer-jejer di sini kampung-kampung tua dengan adat yang masih dipegang teguh, tersebutlah Jazirah Leihitu yang masyhur itu; Negeri Mamala, Morela, Hitu, Wakal, Hila, Negeri Lima, Ureng, Asilulu, dan yang lainnya. Negeri pesisir yang mempesona, diatasnya punggung bukit dengan pohon Pala berbaris-baris, sementara di sisinya yang lain, nyiur melambai-lambai dirayu angin dan belaian ombak. Pengaruh budaya Islam kuat terasa di sini, dari rumah tua lating batu dan lating gaba-gaba terdengar semarak suara rebana bernuansa timur tengah diiringi anak-anak berlatih tarian zamrah. Sebuah Mesjid Tua mungil nan kharismatik yang menjadi situs bersejarah di bangun tahun 1414 M, menuturkan Islam telah begitu lama hadir di nusantara.

Dan sebuah kesan yang begitu kuat dari perjalanan di tanah ini, adalah tentang gelora dan semangat yang unik. Masih segar dalam ingatan tentang peristiwa konflik bernuansa sara empat tahun lamanya, menjadi pelajaran berharga bagi orang-orangnya. Inilah yang terasa amat kuat, saat berinteraksi dengan mereka, para pelaku aksi-aksi kemuliaan, pembela izzah dan kehormatan darah serta iman. Sekian banyak dari mereka anak muda hingga para sepuh bersepakat, bahwa peristiwa berdarah itu adalah kemuliaan bagi tanah mereka, terpilih sebagai bumi jihad. Hari-hari yang panas itu telah mendidik mereka menjadi pemberani yang sesungguhnya. Mereka menertawakan kepengecutan sebagaimana jiwa khianat dikubur mati tanpa syarat. Hari itu cuma satu kalimat; isy kariman au mut syahidan (hidup dalam kemuliaan atau mati sebagai syuhada)

Maka ku sempatkan hadir juga, berdiri takzim di depan pusara para syuhada, ditemani para sahabat yang bertutur tentang nostalgia hari itu, saat barisan bershaf-shaf seperti benteng yang kokoh, saat takbir, tilawah dan dzikir susul meyusul dengan dentuman bom dan nyayian peluru. Tutur yang begitu bertenaga dan mengetarkan, tentang persaudaraan, tentang wangi darah, tentang takdir dan pertolongan Tuhan, tentang kematian yang indah. Berkali-kali kemudian hadir kembali ditempat itu, bersama sahabat-sahabat yang sama, mereka telah menitipkan sebuah pelajaran berharga, mengajarkan untuk tak lagi canggung untuk meminang cita-cita dalam doa; (Allahummarzuqna asy syahaadata fii sabiilika – Ya Allah karuniakanlah kepada kami syahid di Jalan-Mu)...Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun