Kehidupan kolektif yang selalu mengalami dinamika membuat tantangan yang harus dijawab selalu berubah-ubah, begitupun kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mahasiswa sebagai aktor penting dalam setiap perubahan selalu muncul dengan gerakannya untuk memberikan aksi langsung saat menyaksikan terjadinya ketidakadilan di masyarakat. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa dituntut untuk menjadi garda terdepan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain itu mahasiswa juga dianggap sebagai agent of change dan agent of control dengan berperan sebagai kekuatan kolektif atas penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat serta sebagai pembentuk kesadaran untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Di Indonesia, terdapat banyak tantangan dan permasalahan yang telah dilewati mahasiswa. Dimulai dari tantangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah, menurunkan pemerintahan yang bersifat otoriter dan menyuarakan reformasi, hingga menuntut dan menjaga demokrasi yang telah berjalan hingga kini. Tantangan dan permasalahan tersebut dapat diselesaikan mahasiswa dengan melakukan aksi kolektif yang dilakukan secara langsung. Perjuangan kolektif yang membutuhkan banyak kekuatan tentu bukanlah hal yang instan dan mudah dilaksanakan. Hal ini dikarenakan harus ada persamaan keresahan yang dirasakan oleh banyak orang, dengan kata lain senasib dan sepenanggungan.
Namun, di tengah era disrupsi yang membantu kebebasan dan kemudahan mendapatkan informasi, dalam tubuh mahasiswa justru terjadi polarisasi yang memecah konsentrasi perjuangan. Hal ini terjadi karena munculnya banyak perbedaan yang tidak terselesaikan dalam tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri, salah satu bentuk perbedaan tersebut adalah tentang bagaimana cara mengemukakan pendapat dan menyampaikan aspirasi. Sebagian besar berpendapat bahwa sudah bukan masanya lagi mahasiswa untuk tumpah-ruah turun ke jalan, karena hal ini hanya akan menimbulkan dampak kerugian bagi para mahasiswa dan masyarakat umum. Sementara sebagian yang lain merasa bahwa turun ke jalan adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan aspirasi, karena hanya dengan hal ini aspirasi dapat didengarkan dan dilaksanakan, hal ini dibuktikan dengan sejarah yang tertulis di mana hanya dengan mahasiswa turun ke jalan dan aspirasi dapat didengarkan dan dilaksanakan. Jika saja perbedaan ini dapat diselesaikan dengan saling menghargai tentang bagaimanapun cara menyampaikan aspirasi selama yang disampaikan adalah kebenaran maka satu perbedaan telah dapat diselesaikan. Selain itu, terdapat banyak perbedaan yang akhirnya juga menjadi polarisasi pergerakan mahasiswa yakni; perbedaan nasib individu antar mahasiswa, perbedaan pemikiran, perbedaan organisasi, bahkan hingga perbedaan isu dan tuntutan yang dibawa, dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut yang akhirnya membuat gerakan mahasiswa masa kini terlihat tumpul.
Di lain sisi terdapat juga faktor eksternal yang membuat tumpulnya gerakan mahasiswa. Faktor eksternal yaitu usaha pemerintah dalam mengendalikan ide dan pemikiran mahasiswa yang coba dilunakkan dengan memberikan tokoh mahasiswa beberapa fasilitas, baik untuk individu, organisasi, maupun universitas. Hal ini membuat mahasiswa terkesan lebih kompromi terhadap beberapa isu-isu strategis yang membutuhkan perhatian. Ini merupakan bentuk nyata usaha pemerintah dalam membutuhkan daya pikir kritis mahasiswa, solusi yang harus diambil atas permasalahan ini adalah mahasiswa harus memunculkan kembali tokoh-tokoh baru yang tidak dikendalikan oleh pemerintah.
Usaha pemerintah dalam meredupkan perjuangan mahasiswa juga dilaksanakan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung berdampak pada redupnya gerakan mahasiswa, salah satu kebijakan tersebut adalah penentuan rektor Perguruan Tinggi Negeri yang diambil alih oleh presiden, sementara untuk Perguruan Tinggi Negeri yang berada di bawah naungan kementrian agama diambil alih oleh mentri agama langsung. Hal ini mengindikasikan rektor sebagai perpanjangan tangan penguasa di wilayah universitas yang pada akhirnya akan menuntut mahasiswa untuk terkonsentrasi pada tugas-tugas kampus dan secara tidak sadar memisahkan mahasiswa dari kehidupan sosial. Tujuannya adalah agar mahasiswa menjadi apatis terhadap segala persoalan sosial yang hadir karena kesalahan dan penyelewengan pengelolaan kekuasaan negara.
Redupnya gerakan mahasiswa harus segera diakhiri, karena mahasiswa harus kembali berperan penting dalam perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa merupakan bentuk nyata perjuangan kaum intelektual atas tanggung jawab moral dan sosial mahasiswa terhadap rakyat. Membuka kembali catatan sejarah menjadi salah satu solusi utama untuk mengembalikan semangat gerakan mahasiswa dengan idealisme para aktivisnya yang telah menumbangkan kediktatoran dan keotoriteran.
Semua pihak harus ikut serta mengembalikan peran mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control yang sesungguhnya, baik itu individu mahasiswa dengan pemikirannya, universitas dengan kebijakan yang memudahkan tumbuhnya gerakan mahasiswa, dan masyarakat umum yang selalu memberikan dukungan kepada para mahasiswa, serta pemerintah yang sudah seharusnya untuk melibatkan mahasiswa sebagai pengawas untuk melakukan check and balance.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H