[caption id="attachment_193856" align="alignleft" width="300" caption="Remy Sylado saat menulis di Rumahnya, Jl Srigadis Bandung"][/caption] Sambutan Terbitnya buku 123 Ayat tentang Seni karya Yapi Tambayong DIANTAR dengan banyak takzim, yang berarti kemauan tulus untuk merendah di depan Tuan-Tuan dan Puan-Puan, tetapi juga disertai dengan sedikit jemawa – maaf, punten, nuwun sewu – karena alasan pengetahuan membanding-bandingkan dengan buku-buku yang ada dalam kepustakaan kita, maka dengan ini hendak saya katakan, bahwa belum pernah ada buku seperti “123 Ayat Tentang Seni” dalam kepustakaan kita tersebut: buku yang menyajikan pengertian asasi kepelbagaian kesenian dalam ladang bahasan keindahan yang menyeluruh namun mufrad. Berhubung Tuan-Tuan dan Puan-Puan sekarang sedang memegang buku ini dan diharap mau menyimak isinya dengan sungguh hati, maka Tuan-Tuan dan Puan-Puan adalah sidang pembaca terhormat yang moga-moga merasa damai mendapat wacana tentang kebudayaan yang tidak sempit meliputi cabang-cabangnya, sejarahnya, bentuknya, persoalannya, dan tanggungjawabnya. Di luar harapan itu walahualam. Selama ini, sejak kita merdeka, dilatari oleh sentimen – sentimen politik menyangkut paham kebangsaan yang dangkal, sebagai bekas bangsa terjajah yang pernah hidup gelap di masa lampau sana, maka tidak kecil terjadi kecenderungan menernak prasangka – prasangka kebudayaan dengan mempertajam perbedaan antara Barat dan Timur, dan karenanya membuat kita tidak arif melihat diri kita untuk maju di masa depan. Di samping itu, banyak pula di antara kita yang sengaja menyesatkan nalar dengan istilah-istilah kesenian yang keliru, yang celakanya dipungut dari kamus-kamus tertentu, menyebabkan pengetahuan atasnya pun secara teoritis menjadi centang-perenang. Dan, siapa yang telah dibentuk oleh bacaan diksioner yang keliru, memang bakal sulit menerima kesungguhan pengetahuan dari perkembangan yang terjadi dalam kebudayaan. Buku ini memberi pengertian yang terbuka untuk memandang kebudayaan lewat kesenian yang beragam – susastra, musik, lukis, drama, film – dalam suatu pengetahuan yang mufrad tentang filsafat keindahan. Dengannya hendak diacu pula suatu pengertian tulen kebudayaan dengan cara menembusi sekat-sekat yang selama ini mengebiri wawasan kebudayaan tersebut yang seharusnya terbuka. Nyata terlihat selama ini beban dalam pikiran banyak orang, mempertentangkan Barat dan Timur sebagai ciri ketidakberdayaan sosial, dalam prasangka-prasangka kebangsaan yang konyol, dan dengan begitu mengabaikan arti kemanusiaan universal, mendunia, am, yang justru merupakan simpati kemuliaan peradaban.Tentu saja pandangan yang elok peri kemanusiaan universal itu tidak bertentangan dengan keyakinan samawi, bahwa manusia berasal dari cikalbakal satu tubuh-roh-jiwa dengan tanggungjawab yang sama di hadapan hadirat sang khalik atas hidupnya masing-masing. Lebih jauh, seyogyanya dibilang di sini dengan sikap safi dan apa adanya, bahwa alasan lain penulisan buku ini, dasarnya adalah karena penulisan buku ini, kebetulan pelaku aktif atas kelima ladang kesenian yang dimaksud, dan dengan pengalamannya itu berhasrat membagikannya kepada Tuan-Tuan dan Puan-Puan, semoga berkenan, insya Allah. Akhirnya saya mesti berkata di ujung pengantar ini, bahwa tidak ada masalah bagi Tuan-Tuan dan Puan-Puan, atau siapapun, yang ingin dan mau bersungguh-sungguh, seperti saya, bekerja mencipta sastra, musik, lukis, drama, film, dan mempelajari semua ladang itu dengan tekun menuju ke ukuran mustaid. Dengan itu saya ingin bilang kepada Tuan-Tuan dan Puan-Puan, bahwa untuk itu diperlukan kemauan dan kesungguhan.Adapun urusan berkat, seperti yang biasa dibuat pelik oleh sejumlah orang, tidak usah dihiraukan. Sebab, bakat adalah urusan Tuhan. Kita belum pernah berhubungan telefon dengan Tuhan untuk membahas perihal bakat.Siapapun dapat menjadi dirinya dengan kelima ladang kesenian yang diacu buku ini dengan cara mengandalkan kemauan tersebut. Kasihlah hati untuk percaya. Akhirnya, buku ini hanya pengantar awal untuk melahirkan wawasan yang diharapkan bisa menumbuhkan kecenderungan-kecenderungan kreatif. Setelah itu, terserah nasib.[] Bandung, Juni 2012 Yapi Tambayong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H