“Dulu pemerintah orde baru sering menekankan pentingnya, sandang, pangan dan papan. Target hidup manusia dalam urusan ini memang penting. Tetapi kalau hanya berhenti pada kebutuhan itu, kita tahu hewan pun bisa melakukannya. Kambing tidak usah sekolah SD Impres pun bisa nyari makan. Pakaian domba pun bagus sehingga sering dipakai selebritis. Burung pun tidak sekolah bisa bikin sarang. Karena itu sebenarnya kalau kita ingin bicara kemanusiaan kita perlu mencamkan nasihat Bapak pendiri nasionalisme Cina modern, Sun Yat Sen, yang mengatakan "ada makanan untuk dimakan, ada sandang untuk dipakai. Ada buku untuk dibaca. Artinya, di situ menegaskan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan adalah buku.”
Itulah ungkapan Remy Sylado yang penting diserap dari acara diskusi launching buku 123 Ayat tentang Seni, sabtu, 29 September 2012. Bertempat di lapangan terbuka samping Rumah Makan Bala Kecrakan, Kawasan Wisata Punclut Bandung, Remy memukau ratusan peserta diskusi selama dua jam lebih.
Kritik sastra lisan
Diskusi yang dihadiri oleh para seniman, penulis, dan mahasiswa, termasuk para eksponen Majalah Aktuil tahun 1970an itu, nampak jelas Seniman Mbeling ngotot menekankan pentingnya ilmu dalam sebuah tulisan. Kemiskinan literatur dalam bidang seni membuat ia rela meriset dan kemudian menuliskan buku tebal 123 Ayat tentang Seni sebagai tujuan untuk memberikan pemahaman seni secara ilmiah dalam bentuk tulisan.
“Kita tahu, burung pun bisa menyanyi, bahkan sangat merdu dengan siulan-siulannya. Tetapi kita tahu pula bahwa suara burung dari abad ke abad hanya mengulang-ulang belaka. Itulah mengapa sekolah musik, baik instrumental maupun vokal memang perlu untuk membedakan antara manusia dengan burung,” paparnya.
Tetapi, kata Remy,”selama ini kita menyanyi, bermusik dan berkesenian seringkali tidak mengetahui dasar-dasar ilmu seni. Itu disebabkan karena para pelaku seni musik juga senirupa dan bidang seni lain kurang memakai ilmu sehingga terkadang laku seninya tak jauh dari hewan.”
Jadi, lanjut Remy, “niatan saya menulis buku ini supaya kita semua berbeda dengan hewan,” ujarnya disambut tawa ger-geran para peserta.
Tertarik dengan hal itu, seorang peserta diskusi sempat menanyakan, mengapa kita dalam sastra dunia Bapak Remy bisa menulis panjang lebar sejarah sastra sejak jaman kuno, tetapi untuk sastra Indonesia baru dimulai bersamaan berdirinya sumpah pemuda?
Remy menjawab, “Sastra Indonesia ya dimulai era bahasa Indonesia, sejak era sumpah pemuda. Sebelumnya bahasa kita semua melayu. Ini sekaligus menjawab pemahaman yang keliru tentang adanya sastra lisan. Bagi saya tidak ada sastra lisan karena sastra itu adalah tulisan. Repot kalau kemudian setiap omongan, cangkem, atau bahasa kasarnya orang Jawa cocot itu dijadikan bagian sastra,” papar seniman dengan segudang karya ini.
Remy juga menambahkan, karena saking terbiasanya dengan tradisi lisan, dokumen-dokumen penting negara pun tidak bisa dibuktikan. Contoh kasus dokumen supersemar (surat perintah sebelas maret) yang sampai kini tidak jelas. Katanya, ini akibat kita terbiasa dengan budaya lisan sampai-sampai urusan negara pun, “katanya, katanya dan katanya.”
Acuan mengajar seni
Buku 123 Ayat tentang Seni yang setelah Idul Fitri 2012 lalu mulai beredar di masyarakat merupakan buku pedoman penting ilmu seni. Mathori Al Elwa, Pemimpin Redaksi dari Penerbit Nuansa Cendekia yang menerbitkan buku tersebut mengatakan, kami bangga sekali atas karya Bapak Remy bisa kami terbitkan. Bahkan beberapa karya lain akan segera kami terbitkan, karena kami menyayangi keilmuan dari karya-karya penulis dengan keilmuan yang serius.
Seorang peserta diskusi mengatakan, kita sangat terbantu dengan karya tersebut karena selama ini para pengajar seni tidak memiliki buku panduan yang lengkap dalam lima bidang penting berkesenian. Guru seni akhirnya hanya mengajar secara serampangan karena tidak bisa menulisnya dan dengan buku ini para guru juga dosen akan mendapatkan pedoman penting mengajar siswa.
Membaca buku tersebut terasa benar bahwa dunia seni kita selama ini terabaikan. Berbagai keilmuan seni memang sudah dituliskan, tetapi yang lengkap dan mendasar selama ini nyaris tidak ada. Setiap apresiasi karya terpisah-pisah dan itu baik pengajar maupun siswa sering dibuat bingung karena pedoman dasar seni dalam lima bidang harus digali dengan cara yang tidak efektif.
Kesalahan KBBI
Dengan membaca buku 123 Ayat tentang Seni kita akan merasakan bagaimana seharusnya kita memahami seni melalui dasar-dasar yang tepat, akurat dan ilmiah. Lain dari itu hal yang penting dari buku ini ialah menunjukkan ke arah pemahaman yang tepat karena selama ini pengetahuan seni sering rancu dan salah. Ironisnya lagi, kesalahan itu dimulai dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dan lebih tragis lagi kesalahan itu berlanjut karena para dosen mengikuti kesalahan KBBI.
123 Ayat tentang Seni bisa jadi buku ilmiah Remy yang luar biasa bagus karena ini bukan karya daur ulang, atau yang disebut kumpulan esai. Sebagai karya utuh, Remy menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuwan tulen yang memang patut mendapat tempat dalam bangsa ini sebagai guru seni.
Kita patut bangga karena bangsa ini memiliki Remy Sylado, seorang kamus berjalan yang mampu berbicara secara ilmiah sekaligus praktis.
Faiz Manshur yang menjadi editor buku sekaligus mendampingi Remy sebagai moderator menjelaskan bahwa "buku tersebut diproses sebagai bagian kepentingan kontribusi untuk keilmuan, terutama pada bidang seni. Bahkan lebih dari itu, buku tersebut bisa memperkaya spiritualitas hidup pembacanya karena di dalamnya memuat nilai-nilai seni dalam bingkai kenabian." [M.Yusuf]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H