Adakah yang nilai yang paling berharga di dunia selain makna hidup? Rasanya tak ada. Sebanyak apapun harta bisa jadi menjerumuskan seseorang dalam kehampaan. Begitu juga pada mereka yang tertimpa tragedi, bisa jadi tak mendapatkan apa-apa dari pengalaman tragisnya. “Anugrah atau bencana,” kata Ebiet G Ade, “adalah kehendak-Nya.” Karena keduanya pasti akan dialami setiap manusia, seyogianya kita harus cerdas menggali makna dibaliknya. Terutama pada kasus penderitaan, manusia yang tertimpa bencana berupa kecemasan, kehampaan, frustasi, hilangnya nilai dan orientasi hidup. Di era modern, terutama di tengah krisis ekonomi, sosial, politik dan agama sekarang ini,banyak orang semakin tidak tidak bisa mengenali dirinya sendiri, bahkan kehilangan naluri dasarnya sebagai manusia. Kekerasan, kejahatan, dan berbagai pembunuhan, termasuk bunuh diri, menjadi fenomena yang biasa kita saksikan sehari-hari. “Kehampaan eksistensial,” kata Viktor E Frankl, penulis buku ini.Frankl melihat, manusia mudah terjebak pada sikap konformisme (melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain), atau melakukan apapun yang dinginkan orang lain dari dirinya (totalitarianisme). (hal; 61). Frankl adalah seorang psikolog terkemuka Jerman keturunan Yahudi yang hidup di era Nazi. Frankl adalah salah seorang dari sekian juta tahanan yang berhasil bebas dari kamp Auswichwitz yang mengerikan. Dalam kamp itu, orang tua Frankl saudara laki-lakinya, dan juga istrinya meninggal di kamar Gas. Selain seorang saudara perempuannya, seluruh keluarga Frankl binasa. Di kamp konsentrasi itu telah menjerumuskan manusia kehilangan pegangan hidupnya. Semua tujuan hidup yang akrab dengan naluri dan pikiran manusiawi setiap hari dihancurkan oleh kebengisan para serdadu Nazi. Berbekal ilmu psikologi yang dimilikinya, Frankl berhasil melakukan “studi empiris” dalam kamp itu. Pengalaman ini diakui sendiri oleh Frankl sebagai bagian utama dari proses pembentukan teori logoterapi yang sangat memukau. Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. “Logoterapi,” atau, yang oleh beberapa penulis lazim dikenal sebagai “Aliran Psikoterapi Ketiga dari Wina,” memusatkan perhatiannya pada makna hidup dan pada upaya manusia untuk mencari makna hidup. Teori ini percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama setiap orang untuk meraih makna hidup yang lebih berharga. Dalam pandangan Frankl, pleasure principle (keinginan mencari kesenangan), atau striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan) bukanlah hal mendasar dari esensi persoalan manusia sebagaimana dikatakan para psikolog modern itu (hal; 60). Keduanya, hanyalah bentuk terselubung dari persoalan dasarnya, yakni kehampaan eksistensial. “Kadang-kadang, terganggunya upaya orang terkait untuk mencari makna hidup berubah menjadi keinginan besar untuk berkuasa, dibarengi dengan salahsatu bentuk paling primitif…,yaitu keinginan memperoleh kekayaan.”(Hal; 171). Terhambatnya keinginan seseorang mencari makna hidup seringkali berubah menjadi keinginan untuk mencari kesenangan. Dengan kata lain, pemikiran Frankl ini sesungguhnya adalah kritik keras terhadap konsep psikologi modern yang lebih suka mencari solusi berkaitan dengan persoalan psikologi manusia untuk mewujudkan hidup tanpa tekanan. “Yang dibutuhkan manusia bukan kondisi tanpa tekanan, tapi upaya dan perjuangan untuk meraih sasaran yang bermakna, sebuah tugas yang dipilih secara bebas,”tegas Frankl (Hal; 168). Pendapat ini nampaknya memiliki kesahihan mengingat dalam situasi tertentu tekanan hidup dengan segala macam bentuk kekejamannya terkadang menjadi takdir manusia. Di bawah penindasan tentara Nazi misalnya, jika seeorang tahanan hanya berusaha untuk lepas dari tekanan barangkali tidak akan berhasil. Terbukti, 70 persen dari tahanan Nazi yang terus meronta untuk melepaskan tekanan, justru mengambil tindakan bunuh diri. Tapi, dengan mencoba mencari makna, seseorang akan kuat menahan derita. Inilah yang coba dilakukan oleh Frankl di kamp konsentrasi Nazi. Sekalipun 99 persen nasib sudah “ter-determinasikan” sebagai manusia penderita dan kemudian mati, Frankl mencoba mencari terobosan agar dirinya dan para tahanan lain untuk mencoba terus hidup. Salah satu cara yang berhasil diterapkan adalah memproyeksikan dirinya pada keadaan-keadaan yang berbeda, misalnya sedang memberikan kuliah pada para mahasiswanya sesudah ia dilepaskan dari kamp maut itu. Melalui serangkaian disiplin seperti ini, mental, emosional, dan moral, terutama menggunakan ingatan dan imanjinasi—ia melatih embrio kebebasannya bertumbuh menjadi lebih besar dan semakin besar, sampai ia memiliki kebebasan daripada orang-orang Nazi yang menindasnya. Membaca logoterapi Frankl beserta kisah kehidupan sebagai tahanan Nazi dalam buku ini sangatlah memakau. Berbagai kisah dramatis kehidupan dalam tahanan Nazi maupun fenomena kehidupan dramatis dalam dunia liberal terekam secara cerdas, unik dan membangkitkan gairah untuk meraih kesadaran yang bebas yang bebas kita pilih. Dan kita, yang hidup di tengah-tengah tragedi kemanusiaan Indonesia sekarang ini sangat perlu menyerap makna hidup dari buku ini. (faiz manshur)
Judul Buku: Optimisme di Tengah Tragedi.(analisa logoterapi)/Penulis: Viktor E. Frankl/Penerjemah : Lala Hermawati Dharma/Penerbit; Yayasan Nuansa Cendekia Bandung, Desember 2008/ Tebal 278 Halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H