Mohon tunggu...
Membaca Menulis
Membaca Menulis Mohon Tunggu... lainnya -

MEMBACA DAN MENULIS UNTUK HARI ESOK YANG LEBIH BAIK. Mengembangkan literasi dan proses kreatif menulis.(Nuansa Cendekia Bandung)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekonomi-Politik dan Marginalisasi Dunia Ketiga

16 April 2010   00:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, eksistensi ilmu pengetahuan sedang mendapat tantangan serius di masyarakat. Kompleksitas masalah yang dihadapi umat manusia, berikut kecepatan derap globalisasi mengakibatkan berbagai paradigma ilmu pengetahuan cepat usang. Di sinilah kebutuhan akan pembaruan, atau ijtihad dalam ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan. Bahkan dalam bidang ekonomi, tidak cukup sekadar pembaruan. Karena kemiskinan perspektif dalam menjawab kompleksitas persoalan di masyarakat, para ekonom di berbagai belahan dunia merasa perlu meminta bantuan bidang lain. Kisah perkawinan antara ilmu ekonomi dengan politik yang terjadi pada tahun 1970an adalah kasus terpenting yang layak mendapat perhatian penuh. Hal ini wajar mengingat masalah ekonomi dalam wilayah kebangsaan, termasuk regional dan bahkan pedesaan di era modern sekarang ini tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pemangku jabatan (pemerintah). Liberalisasi toh tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh non-pasar. Sudah lazim diketahui, bahwa peranan negara tetap menentukan 'baik-buruk'nya keadaan pasar. Di sinilah relevansinya kita membahas kajian ekonomi-politik. Terlebih,-sebagaimana dalam buku ini,- Teuku May Rudi mampu menyuguhkan pandangan-pandangan yang baru dan memiliki bobot akademis yang cukup kuat. Perlu kita perjelas terlebih dahulu, bahwa definisi ekonomi-politik adalah, kajian aplikatif-empiris yang mempelajari hubungan serta interaksi yang berlangsung atau saling mempengaruhi antara faktor mekanisme pasar (sebagai komponen ekonomi) dengan faktor kebijakan pemerintah (sebagai komponen politik) serta perubahan sosial (sebagai komponen sosiologi) (hlm. 15). Lalu, apa maksud istilah Internasional yang dipakai penulis dalam hal ini? Kenapa tidak memakai istilah Global? Sesuai wacana yang berkembang, istilah tersebut layak diimbuhkan setelah kata ekonomi dan politik karena aspek perubahan sosial (tidak sekadar perubahan pasar dan kebijakan publik) sangat penting diperhitungkan. Hal ini bisa kita lihat dari kenyataan di mana kenyataan globalisasi telah banyak mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Wujudnya adalah, peningkatan mobilisasi masyarakat sehubungan dengan kemajuan-kemajuan di bidang teknologi, transportasi dan telekomunikasi; fenomena "borderless world", keterbukaan akses informasi dan transaksi melalui Internet; globalisasi; perubahan sikap era Perang Dingin, demokrasi dan HAM, berfungsinya serikat pekerja, termasuk arus investasi asing. (hlm. 17). Ini jelas berbeda dengan kajian Ekonomi-Politik Domestik (yang berlangsung dalam satu negara), Ekonomi-Politik Regional (yang berlangsung dalam satu kawasan) Dalam pandangan Rudy (hlm. 18), istilah Ekonomi-Politik-Global dirasa kurang tepat karena luasnya kajian Ekonomi-Politik sekarang ini tidak sekadar urusan hubungan industrialisasi, kapitalisme global dan diplomasi politik ekonomi negara adidaya dengan negara non-adidaya. Terminologi Ekonomi-Politik-Internasional lebih cocok sebagai disiplin ilmu dan nama mata kuliah karena yang dikaji adalah interaksi yang berlangsung (seperti konflik, persaingan, atau kerja sama) di antara negara-negara dalam suatu multi-state system dan dengan para aktor transnasional non-negara. Memihak kepada yang marjinal Satu hal yang menjadi kajian terpenting dalam buku ini adalah karena EPI sedemikian besar memperhatikan kelompok/bangsa tertindas akibat dominasi ekonomi global. Karena itu wajar jika kajian EPI lebih fokus pada perhatian nasib bangsa-bangsa terbelakang dengan tujuan untuk "kepentingan" perbaikan kesejahteraan hidup. Berpijak pada prinsip multidisipliner, kajian dalam EPI kemudian meluas hingga merambah bidang-bidang yang selama ini jauh bersinggungan dengan ilmu ekonomi. Di sini kita melihat bahwa EPI tidak lagi terkurung dalam paradigma sempit; sekadar hubungan timbal-balik antara ekonomi dan politik, politik dan ekonomi, modernisasi dan globalisasi, globalitas dan lokalitas. Isu-isu seperti kerusakan lingkungan, demokrasi, HAM, konfigurasi politik, aktor politik lokal, korupsi, mentalitas, agama, adat istiadat juga menjadi tema yang relevan dibahas. Apakah dengan begitu EPI bukan ilmu pengetahuan yang murni? Cenderung tendensius dan ideologis? Tentu pertanyaan ini saya kira bisa dijawab dengan tiga argumentasi. Pertama, sejatinya tidak ada ilmu pengetahuan yang netral. Kedua, sebuah ilmu pengetahuan memang seyogianya tidak terpisah dari kebutuhan masyarakat, terutama dalam hal perbaikan hidup. Ilmu pengetahuan yang lepas dari tanggungjawab sosial adalah bentuk penyelewengan dari semangat humanisme. Ketiga, realitas kehidupan dunia mutakhir ini jelas membutuhkan solusi konkret dari ilmu pengetahuan. Dengan begitu tidak ada yang salah jika EPI secara terbuka memanifestasikan diri sebagai pembela kelompok/bangsa yang mengalami marjinalisasi akibat dominasi negara dan lembaga kapitalisme global. Yang justru perlu diajukan sebagai pertanyaan adalah, apakah studi EPI yang selama ini berkembang, sudah bisa diuji? Sahih? Dan solusinya bisa dijadikan pegangan kaum ilmuwan, birokrat, politisi dan aktivis kemanusiaan? Harus diakui bahwa selama ini EPI lebih dikenal sebagai paradigma kritik. Kadar kekritisannya cukup memiliki bobot dalam mengidentifikasi permasalahan. Peminat studi ini juga kebanyakan adalah para aktivis gerakan kiri-baru, atau mereka yang menempatkan diri sebagai kaum oposisi pemerintah dan korporat. Namun berhenti sebagai paradigma kritik tanpa ada solusi alternatif, tidak mustahil suatu saat EPI justru terjerumus menjadi ideologi baru yang jumud. Inilah tantangan dari para ilmuwan untuk memberikan suatu paradigma yang lebih bagus, berkualitas dalam hal memberikan solusi alternatif. Bagaimana dengan buku ini? Kajian yang dilakukan Rudi ini tergolong cerdas jika dilihat dari sisi pemetaan teoritis. Karena itu sangat cocok bagi kawula muda, para mahasiswa, atau peneliti yang tidak bergelut dalam bidang sosial namun ingin mengetahui studi EPI. Pendek kata, buku ini adalah pengantar guna memasuki belantara ilmu pengetahuan EPI yang lebih luas. Membaca buku ini kita akan teringat buku "Teori Negara" karya Dr. Arief Budiman yang ringkas, gaya bahasa mudah, runtut dan disertai sedikit contoh-contoh kasus. Dengan demikian pembaca pemula studi EPI dengan mudah menyerap isi buku ini. Namun demikian, buku ini layak dikritik jika dilihat dari kebutuhan yang tidak sekadar untuk pembimbing mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah ilmu ekonomi. Buku kajian ekonomi politik, termasuk buku ini memang harus dikritik secara terbuka agar muncul karya lain yang lebih berkualitas. Barangkali pendapat Meuthia Ganie-Rochman dalam tulisannya, "Teori Pembangunan Sudah Mati?", (Kompas, 16/5) relevan dihadirkan di sini.  Menurutnya, "....bertentangan dengan semangat yang sering diangkat tentang "demokratisasi lokal", penelitian yang dibawakan dengan (untuk sekadar menjawab kebutuhan aksi) justru berkhianat untuk berusaha memahami kondisi lokal...". Meuthia memberi contoh, bahwa karakter spesifik aktor dan lembaga di tingkat lokal tidak murni ingin dipahami, melainkan sudah diarahkan dengan kerangka tertentu. Berbagai penelitian yang dibiayai donor dalam jumlah besar sering berbentuk kumpulan studi kasus atau studi sub-sub sektoral. Setelah berbagai kasus ini dipelajari, "lupa" menganalisis konteks besarnya. Melalui buku ini, Rudy sudah meletakkan pilar dasar EPI secara baik. Tentu akan menjadi lebih baik jika Rudi, atau ilmuwan lain yang tertarik pada bidang ini agar lebih serius menulis EPI yang lebih mendalam, terutama berkaitan dengan observasi kasus-kasus korban dominasi kepentingan kolaboratif antara pemodal dan pemerintah. Apa yang dikatakan Meuthia di atas seyogianya penting diperhatikan. EPI punya potensi untuk dikembangkan menjadi studi ilmiah dalam bidang ekonomi, politik, dan sekaligus sosilogi. Muatan nilai dan semangat pembebasan kaum (bangsa) marjinal yang dimiliki EPI sangat potensial untuk sebuah solusi alternatif. Judul: Ekonomi Politik Internasional /(peran domestik hingga ancaman globalisasi)/ Penulis: T. May Rudy, S.H, M.I.R., M.Sc./ Editor: Agus Salim/Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung (Anggota IKAPI)/Cetakan: I, Maret 2007/Tebal: 185 halaman

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun