Mohon tunggu...
Chris Djoka
Chris Djoka Mohon Tunggu... -

Aktif dalam upaya penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tangis Rokatenda, Tangis NTT... Sayang Bukan Tangis Indonesia

13 Agustus 2013   12:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:22 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rokatenda, sebuah nama yang begitu familiar buatku saat mengisi masa-masa kecilku di Lembah Wolowaru, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mendengar namanya saja, langsung terbayang meriahnya sebuah tarian tradisional yang sangat terkenal dan melibatkan puluhan hingga ratusan orang bernama serupa sejak era 1980-an yang mungkin masih terus ditarikan hingga kini.

Nama itu kemudian berubah menjadi kesedihan mendalam kala mendengar kabar oleh seorang guru kelasku di tahun 1985-an, saat menyampaikan bahwa Rokatenda meletus.Kala itu, doa langsung dikumandangkan bagi para korban yang terkena musibah.

Beragam cerita tentang meletusnya Gunung Ia di Ende diakhir dekade 1960-an seolah terbayang kembali, mencoba untuk membawa kembali pada masa muda orang tuaku, yang selalu mengisi cerita sebelum tidurku saat menceritakan kembali peristiwa meletusnya gunung tersebut, sebuah gunung berapi yang terletak persis di tepi Kota Ende.

Rokatenda, sebuah nama gunung yang terletak di Pulau Palu'e bertinggi 875 mdpl rupanya belum ingin berhenti "beraktifitas" ditahun 2013 ini. Setelah letusan terakhir di tahun 2005, Rokatenda seakan kembali tertidur menabar damai bagi warganya.

Setelah tanggal 21 Januari 2013, Gunung Rokatenda sebagai salah satu gunung berapi paling aktif di NTT kembali mengancam warga di Pulau Palu'e dengan letusannya, hanya berselang 2 mingguan atau pada tanggal 3 Pebruari 2013.

Ah, Rokatenda, yang biasanya begitu akrab ditarikan oleh masyarakat Lio - Ende, akhirnya benar-benar menunjukan kedasyatannya, saat memuntahkan awan dan lahar panas, mengguyur beberapa sisi dari bagian gunung tersebut.

Tanggal 10 Agustus 2013, Gunung Rokatenda kembali menyemburkan awan dan lahar panasnya, yang akhirnya menewaskan sekitar 6 orang warga (berdasarkan beragam berita yang dirilis), dimana 2 orang warganya hingga kini belum ditemukan.

Dengan kembali meltusnya gunung Rokatenda, wargapun kembali mengungsi untuk menghindari kemungkinan akan bahaya letusan susulan, baik ke wilayah Ropa, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, ataupun ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.

Ribuan warga kembali harus berpindah, untuk keluar dari tanah leluhurnya, mengungsi terpisah dari sanak saudara ke berbagai tempat di 2 kabupaten diatas.

Pasca letusan tanggal 10 Agustus 2013, warga dari keempat desa yang mengalami dampak langsung dari letusan Gunung Rokatenda langsung diungsikan ke Maumere sebanyak 1.337 orang dan 1.417 orang ke wilayah Maurole, Ende, demikian seperti dilaporkan Kompas.com.

Dengan kembali meletusnya Rokatenda, solidaritas terhadap kaum pengungsipun bergema. Melalui beragam cara, masyarakat NTT dengan caranya masing-masing secara bersama bahu membahu untuk membantu para korban, baik melalui institusi informal maupun formal.

Masyarakat NTT yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia pun secara bersama menggelorakan semangat solidaritas untuk sesama saudara dari Palu'e, demi meringankan beban mereka yang berada di camp-camp pengungsian.

Upaya pemerintah Provinsi NTT serta Pemerintah Kabupaten Sikka dan Ende pun langsung melakukan respon cepat demi menyelamatkan warga agar terhindar dari bahaya susulan serta meringankan derita sesama saudara yang berada di pengungsian. Tetapi sayang, ditengah hiruk pikuknya ragam persoalan di negeri ini, letusan yang berubah menjadi tangisan warga Rokatenda seolah tidak terdengar gemanya di seantero negeri.

Semoga semangat kebersamaan dalam solidaritas dari sesama saudara Flobamora terus bergelora, dan seluruh warga serta para korban kuat dan tabah dalam musibah ini, karena tangis Rokatenda juga menjadi tangis NTT, walau sayang tidak menjadi tangis Indonesia......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun