Mohon tunggu...
Chris Djoka
Chris Djoka Mohon Tunggu... -

Aktif dalam upaya penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Ritual Pemakaman dalam Tradisi Suku Dayak Wehea

4 Februari 2014   16:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391506688452617755

Suku Dayak Wehea adalah suku asli yang pertama kali mendiami wilayah-wilayah di Kecamatan Muara Wehea (orang biasa menyebut Wahau) dan Kung Beang (biasa disebut Kong Beng), Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. [caption id="attachment_320363" align="alignnone" width="614" caption="Sebuah Ritual dalam Tradisi Dayak Wehea"][/caption]

Berdasarkan penuturan Bapak Ledjie Taq yang juga Kepala Adat Dayak Wehea di Nehas Liah Bing, bahwa Suku Dayak Wehea secara turun temurun telah menempati bantaran Sungai Wehea yang dahulu biasa disebut Guang Henguei Wehea atau Long Msaq Teng dan juga di bantaran Sungai Tlan (orang biasa menyebut Telen). Senada dengan Bapak Ledjie Taq, Tleang Lung, Kepala Adat Dayak Wehea Desa Dea Beq dan juga Bapak Ledjie Tot, seorang tetua adat Dayak Wehea di Desa Bea Nehas mengungkapkan bahwa Suku Dayak Wehea adalah suku yang pertama kali mendiami wilayah kedua sungai tersebut hingga ke bagian hulu sungai.

Tidak ada masyarakat lain yang ada kedua wilayah tersebut, dan beberapa komunitas yang ada saat ini baru mulai datang sekitar tahun 1930-1940-an dan kemudian pada dekade 1960-an yang dilanjutkan dengan kedatangan masyarakat transmigrasi pada pertengahan tahun 1980-an, tambah Ledjie Tot.

Oleh karena itu, pengakuan dari beberapa pihak yang mengaku sebagai penduduk asli di wilayah ini dipertanyakan oleh beberapa tetua adat Wehea diatas.

Sebagai masyarakat komunitas asli, masyarakat Suku Dayak Wehea juga tidak terlepas dari kentalnya tradisi warisan leluhur mereka yang tetap lestari hingga kini, mulai dari ritual Pesta Panen Padi, yang apabila diikuti secara keseluruhan mulai dari ritual awal, ritual puncak hingga ritual penutup akan memakan waktu yang cukup panjang sekitar 1,5 bulan lamanya.

Selain ritual pesta panen padi, juga terdapat ritual Nemlen, yaitu sebuah ritual pendewasaan diri bagi para remaja atau pemuda yang dalam bahasa Wehea disebut “Keslaq” yang biasa diadakan setiap 6 – 10 tahun sekali dan terakhir kali Nemlen dilaksanakan di Desa Dea Beq pada Juni 2012 yang lalu dan sempat didokumentasikan oleh beberapa stasiun tv, antara lain dari tvOne dan Kompas TV serta pembuatan documenter lengkap oleh sebuah Yayasan yang bekerjasama dengan salah satu perusahaan di sekitar Wehea.

Masih terdapat begitu banyak ritual yang tetap ada dan lestari dalam komunitas masyarakat adat Wehea dan menurut penuturan Bapak Tleang Lung, bahwa total ritual adat dalam tradisi mereka kurang lebih sebanyak 21 jenis ritual. Wow……sebuah kekayaan budaya yang begitu luar biasa, dan menariknya bahwa semua jenis ritual tersebut masih hidup dan berkembang serta terus dilestarikan hingga kini oleh masyarakat Suku Dayak Wehea.

Menarik sebuah kalimat bijak, jangan pernah mengakui diri sebagai masyarakat adat jika masyarakat itu tidak punya ritual adat, hukum adat, pemerintahan adat dan juga wilayah ada. Nah…

Menilik ragam ritual yang dimiliki diatas, salah satu yang menarik dan perlu didalami adalah terkait dengan ritual kematian dalam tradisi masyarakat Dayak Wehea.

Menurut Siang Liah, seorang tetua adat di Nehas Liah Bing, bahwa hingga saat ini terdapat beberapa ritual penting yang masih dijaga terutama terkait dengan ritual kematian, seperti waktu pemakaman itu ada hitung-hitungan waktunya secara tradisi, ada hitungan ganjil dan genap, dimana dapat dikuburkan dan juga penguburan jenasah yang akan dilaksanakan dapat dibatalkan apabila tiba-tiba ada warga yang meninggal bersamaan dengan rencana hari penguburannya.

Bagi orang awam yang kurang mengerti tradisi dari sebuah komunitas seperti komunitas Dayak Wehea tersebut mungkin merasa sangat aneh atau heran. Mengapa?

Karena mungkin mereka datang dari tradisi yang berbeda atau mungkin tradisinya sendiri telah musnah, sehingga terkadang sering pula ditemui selain heran atau merasa aneh, bahkan ada yang berkomentar…zaman gini masih ngikutin adat? Hehehehhehe, itu adalah sebuah contoh dimana secara tidak sadar bahwa orang-orang yang seperti itu seolah lupa bahwa dia hidup dan ada di negeri bernama Indonesia yang memiliki kultur budaya beragam dan tentunya sangat sayang untuk tidak didalami…..

Sebuah contoh terpapar baru-baru ini bila kita berbicara sebuah tradisi kematian dalam komunitas Suku Dayak Wehea. Sebelumnya, pada tanggal 31 Mei 2014, seorang perempuan tua meninggal dunia dan sesuai dengan perhitungan waktunya tentunya setelah semua persiapan untuk penguburannya selesai (pembuatan tung/peti jenazah, penggalian kubur, dll), maka jenazahnya akan dimakamkan pada tanggal 2 Pebruari 2014.

Tetapi beberapa jam sebelum acara pemakamannya akan dilaksanakan, salah satu warga lainnya meninggal dunia. Seorang tetua desa menuturkan bahwa, sebenarnya salah satu warga itu meninggal pada tanggal 1 Pebruari 2014 di Samarinda dan kemudian jenasahnya tiba di kampong Nehas Liah Bing tanggal 2 Pebruari 2014 (pagi hari). Seandainya jenazahnya tiba di kampong pada sore hari, pemakaman yang direncanakan tetap akan dilaksanakan, dan kebetulan jenazahnya tiba pada pagi menjelang siang, sehingga rencana pemakaman harus dibatalkan.

Pembatalan pemakaman juga dapat terjadi bila saat akan dimakamkan (biasanya pemakaman selalu dilakukan siang hari sekitar pukul 14.00 wita), tiba-tiba ada warga lainnya yang meninggal dunia, maka pemakamannya akan diundur sehari kemudian, tetapi inilah tradisi kami, tutur seorang tetua adat.

Sementara itu, dalam tradisi penguburannya juga terdapat hal menarik lainnya, seperti yang terjadi di Nehas Liah Bing, dimana terdapat 2 lokasi penguburan yang ada di bagian hilir kampong dan di bagian hulu kampong (agak ke bagian darat kampong).

Untuk lokasi pemakaman di bagian hilir kampong, khusus untuk warga yang meninggal dan berdiam di bagian hilir kampong, dan sebaliknya pada bagian hulu kampong. Jadi kita sudah ada pengaturannya masing-masing karena itu sudah berlangsung secara turun temurun, ungkap seorang tokoh pemuda di Nehas Liah Bing.

Dahulu (juga berlangsung hingga kini), jenazah yang akan dimakamkan tidak dapat diarak mengikuti jalanan kampong (melalui jalan permukiman/rumah penduduk), tetapi jenazah akan diturunkan ke sungai dan kemudian menggunakan perahu jenazah dibawah ke bagian hilir kampungmenuju lokasi pemakaman dan/atau melewati jalanan setapak diluar kampong sekitar lading kemudian menuju ke lokasi pemakaman.

Dalam berbagai ritual pemakaman yang kebetulan saya sendiri ikuti, bahwa hal tersebut diatas masih berlangsung pada semua desa komunitas dalam Suku Dayak Wehea dan hal tersebut merupakan sebuah hal luar biasa, karena seperti ungkapan awal diatas, bahwa di zaman semodern ini ritual tersebut masih mereka pertahankan dan inilah yang membuat Suku Dayak Wehea itu menjadi unik. Mengapa?

Unik karena tradisi masa lampau masih terus terpelihara hingga kini, unik, karena ditengah laju perkembangan zaman yang saat ini terus mengepung mereka, mereka masih mampu untuk terus mempertahankan tradisinya dan unik, bahwa hingga saat ini, beragam ritual diatas masih ada dan lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun